Efesus 4:11-16
Ada beberapa pemandangan yang lebih menarik dibandingkan persahabatan serta pertalian yang akrab antara ayah dan anaknya ketika sang anak memasuki masa dewasanya. Saling menghargai dan saling berbagi pikiran serta pengalaman dengan cara yang makin mendalam mewarnai komunikasi mereka. Satu sama lain saling menikmati.Bentuk hubungan seperti itulah yang Allah ingin pertahankan dengan anak-anak-Nya ketika mereka beranjak makin dewasa. Sama seperti ayah yang penuh perhatian merasa senang ketika mengalami anak yang bertumbuh dalam kedewasaan karakter yang mencakup segalanya, Allah pun bersukacita ketika melihat bahwa di dalam diri anak-anak-Nya terdapat sebuah kesetaraan yang semakin mirip dengan anak-Nya-manusia satu-satunya yang dewasa decara sempurna. Kedewasaan seperti ini membuka pintu untuk keakraban yang senantiasa makin mendalam, dan pada gilirannya keakraban itu memungkinkan dan mempercepat kedewasaan rohani dan kedewasaan karakter.
Kata Yunani untuk "kedewasaan"-teleois-suatu akhir, suatu tujuan, atau batas", kaya akan makna. Kata tersebut menggabungkan dua gagasan: (a) pencapaian standar tertentu, dan (b) pencapaian sasaran tertentu. Mengenai penggunaan kata dalam Matius 5:48 itu, A. T. Robertson berkata, "inilah sasaran yang ditentukan di depan kita, standar mutlak dari bapa Sorgawi kita. Kata itu digunakan juga untuk kesempatan relatif, sebagaimana orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak."
Sebagaimana ditunjukkan oleh Paulus, kata itu berarti "dibawa pada kesempurnaan, dewasa sepenuhnya, tidak kekurangan apa-apa". Dalam suratnya kepada orang Kristen di Efesus, ia memberi tahu mereka bahwa jemaat yang mempunyai karunia Roh mempunyai perannya sediri yaitu "untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak ... kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah kepala" (Efesus 4:12-15, cetak miring ditambahkan).
Perhatikan penekanannya-menjadi dewasa, bukan lagi anak-anak bertumbuh. Dan, standar yang digunakan untuk mengukur kedewasaan itu dinyatakan dengan jelas "tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristuas". Bagaimanakah penampilan orang Kristen yang dewasa? Ia akan terlihat seperti Kristus. Kedewasaan rohani, yang dinyatakan dengan istilah yang paling sederhana, yaitu kondisi seperti Kristus. Kita hanya menjadi dewasa sejauh kita menjadi serupa dengan Dia. Konsep itu didukung dengan fakta bahwa ketika kita mencapai kedewasaan penuh pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya, "Kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya" (I Yohanes 3:2).
Dalam Efesus, rasul Paulus menghubungkan kedewasaan kita dengan "pengetahuan yang benar tentang Allah" (4:13). Mengenal Dia secara lebih lengkap dan lebih mendalam ialah sebuah faktor yang penting dalam mencapai subuah kedewasaan, dan itu merupakan suatu hal yang perlu untuk senantiasa bertumbuh, karena kita didesak untuk "bertumbulah dalam kasuh karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan juruselamat kita, Yesus Kristus" (2 Petrus 3:18). Idealnya, kita mengawali kehidupan rohani kita sebagai bayi di dalam Kristus; lalu kita bergerak maju menginjak masa remaja rohani; akhirnya kita mencapai status orang dewasa yang matang. Pola hidup dabnn pertumbuhan yang fundamental ini terjadi di alam rohani maupun di alam fisik.
Tingkat Kedewasaan
Rasul Yohanes, dalam suratnya yang pertama, menyadari fakta ini ketika ia menyebutkan dirinya sendiri kepda para pembacanya sebagai anak-anak, bapa-bapa, dan orang-orang muda (I Yohanes 2:12-14). Ia mencatat fakta bahwa ada tahap-tahap pertumbuhan yang berbeda di dalam hidup Kristen, yang dicapai oleh para murid dalam sekolah Kristen.
Hal yang penting adalah kita harus beralih kepada perkembangan yang penuh" (Ibrani 6:1). Teruslah bertumbuh.Terlalu banyak orang Kristen yang tidak mengalami pertumbuhan dalam hidup Kristen mereka-"macet di antara Paskah dan Pantekosta", sebagimana dikatakan oleh Dr. Graham Scroggie.
Suatu kali ada seorang wanita Kristen yang hampir mendekati ajal karena kanker. Ia tahu bahwa umurnya tinggal beberapa hari lagi. Suaminya memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya, mencoba membuat segala sesuatu mudah baginya. Wanita tersebut berkata kepada suaminya, "Engkau tidak boleh membuat segala sesuatu mudah bagiku. Engkau tahu, bahwa aku harus terus bertumbuh." Hidupnya yang akrab dengan Allah telah membawanya kepada suatu status kedewasaan rohani sehingga ia lebih peduli tentang bertumbuh ke arah Kristus daripada penderitaan dan ketidaknyamanannya sendiri yang dialaminya itu. Kita juga perlu menjadi ambisius untuk bertumbuh di dalam pengetahuan akan Allah.
Penulis surat kepada jemaat di Ibrani mendesak para pembacanya untuk menumbuhkan ambisi serupa melalui kata-kata ini. "Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran dari kristus dan beralih kepada perkembangan yang penuh" (6:1). Dr. Alexander Smellie menunjukan bahwa Alkitab King James Version menerjemahkannya, "Marilah kita menuju kepada ..." Uskup Westcott lebih suka menggunakan frase, "Marilah kita beralih."
"Faktanya ialah bahwa membutuhkan ketiganya untuk menyingkapkan pentingnya serta kekayaan kata kerja tersebut. Apabila disatukan bersama-sama, ketiganya menyatakan kepada kita mengnai tiga bahaya yang menghadang saat kita memandang benteng kesempurnaan di hadapan kita. Ada bahya kalau berhenti terlalu cepat. Ada bahaya kalau tenggelam dalam keputusasaan. Dan, ada bahaya jika kita menganggap bahwa kita berjalan sendiri." Betapa baiknya Allah yang telah memelihara kita melalui pelayanan Roh Kudus, karena keberadaan kita "telah beralih pada perkembangan yang penuh".
Paulus mengatakan kepada kita lebih lanjut, dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, bagaimana proses pendewasaan itu bisa dipercepat. "Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar" (2 Korintus 3:18).
"Anda ingin menjadi seperti Kristus?" tanya Andrew Murray. Inilah jalurnya. Pandanglah kemuliaan Allah di dalam Dia. Di dalam Dia, Artinya, jangan melihat kata-kata, pikiran-pikiran, kasih karunia di mana kemuliaan-Nya dapat terlihat, namun melihat kepada Dia semata, Kristus yang adlah kasih dan hidup. Pandanglah Dia! Tataplah mata-Nya! Lihatlah wajah-Nya, sebagai seorang sahabat yang mengasihi, sebagai Allah yang hidup."
Visi Yang Mengubahkan
Perubahan menjadi serupa dengan Kristus diawali, sebagimana dinyatakan oleh 2 Korintus 3:18, bukan dengan mawas diri secara subjektif, namun dengan melihat kemuliaan Tuhan secara objektif sebagaimana yang diwujudkan di dalam diri Yesus. Pemandangan yang memukau tidak terlihat di angkasa yang kemilauan, tetapi di dalam Firman Tuhan yang tertulis, yang diterangi oleh Roh yang memberi ilham. Firman ialah sebuah cermin yang menyatakan dan mencerminkan karakter Kristus yang unik, kedewasaan yang sempurna, karakter yang tak bercela, dan karya penebusan. Oleh karena itu, Allah telah membuat cahaya terang-Nya bersinar "di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus" (2 Korintus 4:6).
Kemuliaan Alllah itu tidak berabstrak atau tidak berwujud; kemuliaan itu sungguh-sungguh dinyatakan dalam hidup manusia, di dalam pribadi dan karya Kristus. Namun, di mana kita dapat menemukan wajah Kristus? Bukan pada kanvas artis, karena potret-Nya hanyalah proyeksi dari pikiran serta konsep mengenai diri-Nya sendiri. Wajah Kristus bisa dilihat di dalam kiasan yang dilukiskan bagi kita dengan warna-warna yang begitu indah oleh para penulis biografi Injil, yang diilhamim oleh Roh, yang memberi kita potret-Nya secara keseluruhan. Orang-orang Yahudi pada zaman Yesus melihat wajah itu tetapi mereka tidak melihat kemuliaan, karena prasangka dan ketidakpercayaan mereka menutupinya menjadi lebih rapat dibandingkan selubung yang menyembunyikan kemuliaan wajah Musa ketika ia kembali dari pertemuan dengan Allah (Keluaran 34:33-35).
Rencana Allah bagi anak-anak-Nya bukanlah tiruan lahiriah, tetapi perubahan batiniah. Kemuliaan yang terlihat diwajah Musa ketika ia turun dari gunung nyaris tidak kelihatan dan memudar. Namun, kemuliaan yang Paulus bicarakan di sini ialah kemuliaan yang dipelihara dan disalurkan, karena kata yang diartikan "melihat" disini sama artinya dengan "memancarkan'.
Metode Pengubahan
Metode yang digunakan untuk membuat perubahan bukanlah "perjuangan yang disertai putus asa ketika melawan sesuatu yang memikat", tetapi "melihat" dengan gigih dan konsisten-memandang Kristus di dalam segala keagungan, kemuliaan, kasih, kekudusan, kebenaran, dan keadilan-Nya, sebagaimana ditetapkan dalam kitab Suci. Tatkala kita melihat semua unsur itulah kita sedang diubahkan untuk menjadi serupa dengan Dia.
Apa yang selalu dilihat oleh mata kita sangat berpengaruh terhadap karakter Kristen. Kita menjadi seperti mereka yang kita kagumi. Alexander Agung membaca Iliad karya Homer dan ia pun bertekad untuk menaklukan dunia. Karakter dan kebiasan dibentuk oleh sikap dan kebiasaan dari orang yang terus-menerus kita temui. Siapakah yang belum pernah melihat tiruan-tiruan dari para bintang film yang berparade sepanjang jalan?
Bagaimana Roh Kudus memberi pengaruh yang mengubah diri kita menjadi diri kita yang sama sekali baru? Ada kesejajaran secara fisik dengan proses menelan dan mencerna makanan. Kita mengkonsumsi makanan dan kita lupa tentang semua makanan itu. Tubuh kita berfungsi dan enzim melakukan perannya. Tanpa upaya aktif atau aktifitas apa pun dari pihak kita, makanan itu perlahan-lahan diubahakan menjadi suatu bentuk lain dan menyatu ke dalam seluruh tubuh jasmani kita. Itu diubahkan menjadi daging, tulang, darah, rambut dan energi. Dan semuanya terjadi tanpa tindakan aktif dari pihak kita.
Dengan cara yang sama, kita menggunakan waktu dengan tekun untuk "melihat ... kemuliaan Tuhan" di wajah Yesus Kristus-kebajikan, rahmat apa yang sudah dilakukan-Nya-Roh Kudus tidak hanya menyatakan Dia kepada kita, tetapi Ia memproduksi Kristus di dalam diri kita. Tanpa tindakan aktif dari pihak kita, Ia menanamkan kebajikan-kebajikan serta nilai-nilai yang kita lihat di dalam Kristus dalam kehidupan rohani kita, dan itu makin merubah kita menjadi serupa dengan Dia. "Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung ... maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya:" (2 Korintus 3:18).
Perubahan batiniah bukan semata-mata hasil dari waktu sesaat dimana kita meninggikan keagungan serta kekudusan-Nya. Perubahan yang berkesinambungan itu terjadi ketika kita terus memandang Dia. Tidak ada kasih karunia yang kita lihat dalam karakter Tuhan
kita yang tidak mungkin menjadi milik kita yang makin berkembang jika kita bersandar pada Roh Kudus untuk memproduksinya di dalam diri kita.
Jadi inilah yang ditulis A. W. Tozer:
"Banyak orang telah menemukan rahasia yang telah saya bicarakan dan, tanpa berpikir lebih panjang tentang apa yang terjadi di dalam diri mereka, secara terus-menerus mereka mempraktekan kebiasaan untuk memandang Allah dari dalam hati mereka. Mereka memahami bahwa sesuatu dalam hati mereka sedang memandang Allah. Bahkan, ketika mereka dipaksa untuk mengalihkan perhatian mereka dengan sadar agar terlibat dalam perkara-perkara dunia, di dalam mereka ada terjadi suatu persekutuan rahasia.Biarkan perhatian mereka beralih untuk sesaat saja pada kesibukkan mereka sendiri, pasti mereka akan kembali kepada Allah sekali lagi."
Bagian kita ialah melihat. Hak istimewa Roh Kudus-lah yang akan mengubahkan.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
12 Juni 2009
Gereja dan Pendidikan
Pendidikan memegang posisi dan peranan yang sangat strategis dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Sayangnya dalam posisi dan peran semacam ini, pendidikan di negeri ini belum dapat secara optimal menjadi sebuah jalan yang memadai guna mencapai cita-cita luhur tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena keutuhan yang diharapkan dibentuk dan diwujudkan melalui pendidikan pada kenyataannya malah dikhianati sendiri oleh suatu tradisi pendidikan yang lebih memberi penghargaan hanya kepada siswa atau mahasiswa yang berprestasi tinggi dalam pengetahuan dan berketerampilan baik dalam bidang tertentu saja. Penghargaan yang sifatnya mengarah kepada pendidikan yang melakukan pengembangan nilai-nilai dalam pembentukan karakter manusia seutuhnya malah tidak mendapat tempat. Keutuhan manusia ternyata hanya dilihat sebagian saja di dalam praktek dari sistem pendidikan kita.
Harus kita akui bersama bila Indonesia tidak akan pernah kehilangan atau bahkan kehabisan orang pintar dan terampil. Kita memiliki banyak orang yang terdidik dan terlatih dengan baik dalam bidangnya. Indonesia dibangun oleh orang-orang semacam ini. Namun di sisi lain harus kita akui pula bahwa negeri ini juga dirusak oleh orang-orang cerdas dan terampil yang telah kehilangan atau bahkan sama sekali tidak pernah memiliki nilai-nilai luhur moral dan iman. Satu-persatu pesohor dari berbagai jabatan penting di negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan bahkan sampai strata yang tertinggi ternyata harus mengakhiri karirnya di bui. Hal ini disebabkan bukan karena faktor kekurangcerdasan atau karena kekurangterampilan, tetapi hal itu disebabkan karena kurangnya nilai-nilai moral dan imaniah yang membuat kecerdasan dan keterampilan menjadi tak punya makna yang utuh. Media massa melaporkan beberapa caleg yang tidak mendapatkan suara dalam Pemilu Legislatif 2009 dengan tanpa rasa malu menarik semua bantuan yang sudah pernah mereka bagikan kepada masyarakat dalam masa kampanye. Dan yang paling ironis adalah mereka menarik bantuan berupa bahan bangunan dalam rangka pembangunan sebuah rumah ibadah. Kenyataan-kenyataan sejenis muncul dimana-mana yang sedang mempertontonkan kepada kita bila nilai-nilai moral dan imaniah sudah lama tidak mendapat porsi yang proporsional sekalipun mereka beragama dan institusi keagamaan masih tegak berdiri, dan hal ini sekaligus mengkoreksi kualitas pendidikan-pendidikan agama di negeri ini yang belum terlihat berdampak pada perilaku manusia Indonesia secara umum.
Dalam konteks gereja hal ini disebakan oleh dua hal:
Pertama, dalam sumbangan dari konteks kristiani, Gereja, dalam hal ini sebagai agen yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam arti memperjuangkan kasih, keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat, malah terlihat sama sekali belum berperan atau malah sudah kehilangan perannya sama sekali. Kelihatannya mayoritas pendidikan di dalam gereja dan oleh gereja masih berorientasi pada urusan-urusan internal yang cakupannya sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit yang merasa soal-soal tersebut bukanlah urusan gereja dan membiarkan pemerintah mengambil alih urusan ini. Padahal sebenarnya gerejalah yang harus berperan aktif. Mengapa sebenarnya gereja harus terlibat dalam hal ini?
Tatkala Karl Barth memandang gereja sebagai institusi maka ia menjumpai ada 9 (Sembilan) unsur kelembagaan gereja yang salah satunya adalah pendidikan. Dengan kata lain ia sedang mengisyaratkan bahwa pendidikan dan gereja bukanlah hal yang terpisah dan gereja dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk mendidik. Dalam hal ini tercermin bahwa gereja tidak dapat melarikan diri dari unsur yang merupakan bagian dari pembentukan jatidirinya. Gereja harus mengambil peran sebagai ‘garam’ dan ‘terang’ dalam dunia pendidikan. Harry Blamires dalam “The Christian Mind” menulis bahwa yang masih ada sekarang ini adalah etika Kristen (orang masih bermoral dan berusaha untuk tidak berbuat hal memalukan) dan spiritualitas Kristen (orang masih beribadah), sedangkan pikiran Kristen (Christian Mind) sudah tidak ada. Pikiran-pikiran yang berkembang dalam benak jemaat seringkali bersandar pada pikiran-pikiran sekuler-humanistik yang egois sekalipun mereka adalah warga gereja dan dibina dalam dan oleh gereja.
Ancaman bagi pendidikan gereja dan oleh gereja bukanlah datang dari agama-agama lain. Malah gereja harus bekerjasama dengan agama lain dalam pembentukan moral dan karakter bangsa menghadapi ‘musuh bersama’ yakni sekularisme. Barth sudah lama melihat bahwa sekularisasi akan merupakan ancaman bagi gereja-gereja di kemudian hari. Ia berujar bila sekularisme itu tidak lain adalah kerasingan yang dialami gereja pada saat ia tidak mau mendengar suara Gembala yang baik, namun malahan mengikuti suara orang asing. Pendidikan yang sekuler-humanistik belakangan ini malah semakin merajalela bahkan ironisnya tidak memberi ruang yang memadai bagi pendidikan agama yang dikerjakan gereja dalam dunia pendidikan atau bahkan oleh agama-agama lainnya. Pendidikan agama kendatipun tetap ada seringkali lebih diarahkan pada pemahaman kognitif agama ketimbang rasa-afeksi atau internalisasi nilai-nilai, atau bahkan hanya sekedar pelengkap sebuah kurikulum yang berketuhanan namun dampaknya sangat kecil bahkan terkesan basa-basi.
Apa yang dikuatirkan Barth masih terasa relevan dengan situasi sekarang dimana pendidikan kita seolah terasing dari pengaruh agama dan lebih berpihak pada kecondongan menciptakan manusia kerja yang cerdas dan terampil namun berwatak serakah, aji mumpung, opurtunistis, sektarian, fanatik, introvert, hedonis, kehilangan rasa hormat, tidak disiplin, lihai bermain kotor, egois, tidak loyal, mudah disuap, tidak berpendirian teguh, mengorbankan nilai-nilai keluarga, acuh tak acuh memandang hukum dan aturan, dan tidak dapat menjadi teladan.
Kini secara konkrit apa yang sebenarnya yang harus gereja kerjakan? Kekristenan melalui gereja mendorong agar dunia pendidikan kembali dipengaruhi oleh pemahaman kristiani tanpa mengabaikan sumbangsih pandangan agama-agama lain, dan tanpa bermaksud mengubah sebuah universitas menajadi sebuah seminari teologi atau mengkristenkan berbagai universitas.
Kekristenan harus menjadi sebuah kekuatan yang bersatu juga dengan penganut agama yang lain untuk menghadapi “musuh” bersama (menurut Louis Berkhof dan Cornelius van Til) dengan prasyarat:
a. Filsafat pendidikan harus didasarkan pada sebuah pengakuan pendidikan dalam bidang apapun memiliki hubungan asasi dengan Tuhan.
b. Kurikulum tidak lagi humanistik tetapi pada sebuah teosentris yang bebas namun bertanggung jawab (bukan kaku atau legalis seperti tunduk pada Taurat).
c. Naradidik merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan yang hanya akan tumbuh dengan benar bila diletakan berhadapan dengan Tuhan dan bukan terhadap dirinya sendiri.
Gereja dan agama-agama lainnya melakukan kaderisasi penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang dengan mengutus, melatih, mendidik, mengirimkan dengan beasiswa semua kader-kader yang dianggap dan diperhitungkan kelak dapat menduduki posisi-posisi penting dalam semua strata pendidikan, sehingga dimungkinkan membawa kembali dunia pendidikan pada pikiran-pikiran yang menggarami dan bukan menyerahkannya pada kesesatan atheistik atau sekularisme-humanistik yang sempit.
Gereja mau terlibat aktif dalam sebuah penelitian, percakapan, bahkan dalam penyebaran pikiran-pikiran kristiani yang kembali ‘menggarami’ pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang perlahan dan pasti sedang membusuk karena terlalu sering contoh-contoh buruk dipertontonkan kepada masyarakat.
Kedua, diabaikannya pikiran gereja dari lingkungan pendidikan juga dapat disebabkan oleh karena ketidakrelevanan berita gereja dalam konteks pendidikan bagi generasi muda dan bagi zaman modern karena pola pendekatan yang tidak diperbarui. Lyle Schaller, seorang konsultan gereja Amerika dari United Methodist mengemukakan bahwa gereja harus beradaptasi dengan era baru. Adaptasi di sini tidak berarti substansi pemberitaan Gereja harus diubah, tetapi yang mengalami perubahan adalah cara kita mengemas dan menyampaikan pesan Injil. Gereja seyogyanya harus mengemas isi pendidikannya sedemikian rupa agar mudah ditangkap dan dicerna oleh generasi muda sesuai zamannya. Pemutakhiran literatur pendidikan agama merupakan langkah yang harus dikerjakan gereja sesegera mungkin melalui jejaring gereja yang sudah ada (PGI dan yang sejenis) dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak yang memungkinkan terwujudnya maksud tersebut. Namun yang terpenting yang harus disadari gereja adalah bahwa tanggung jawab itu berada di tangan gereja sendiri.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
Harus kita akui bersama bila Indonesia tidak akan pernah kehilangan atau bahkan kehabisan orang pintar dan terampil. Kita memiliki banyak orang yang terdidik dan terlatih dengan baik dalam bidangnya. Indonesia dibangun oleh orang-orang semacam ini. Namun di sisi lain harus kita akui pula bahwa negeri ini juga dirusak oleh orang-orang cerdas dan terampil yang telah kehilangan atau bahkan sama sekali tidak pernah memiliki nilai-nilai luhur moral dan iman. Satu-persatu pesohor dari berbagai jabatan penting di negeri ini yang pernah mengenyam pendidikan bahkan sampai strata yang tertinggi ternyata harus mengakhiri karirnya di bui. Hal ini disebabkan bukan karena faktor kekurangcerdasan atau karena kekurangterampilan, tetapi hal itu disebabkan karena kurangnya nilai-nilai moral dan imaniah yang membuat kecerdasan dan keterampilan menjadi tak punya makna yang utuh. Media massa melaporkan beberapa caleg yang tidak mendapatkan suara dalam Pemilu Legislatif 2009 dengan tanpa rasa malu menarik semua bantuan yang sudah pernah mereka bagikan kepada masyarakat dalam masa kampanye. Dan yang paling ironis adalah mereka menarik bantuan berupa bahan bangunan dalam rangka pembangunan sebuah rumah ibadah. Kenyataan-kenyataan sejenis muncul dimana-mana yang sedang mempertontonkan kepada kita bila nilai-nilai moral dan imaniah sudah lama tidak mendapat porsi yang proporsional sekalipun mereka beragama dan institusi keagamaan masih tegak berdiri, dan hal ini sekaligus mengkoreksi kualitas pendidikan-pendidikan agama di negeri ini yang belum terlihat berdampak pada perilaku manusia Indonesia secara umum.
Dalam konteks gereja hal ini disebakan oleh dua hal:
Pertama, dalam sumbangan dari konteks kristiani, Gereja, dalam hal ini sebagai agen yang menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam arti memperjuangkan kasih, keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat, malah terlihat sama sekali belum berperan atau malah sudah kehilangan perannya sama sekali. Kelihatannya mayoritas pendidikan di dalam gereja dan oleh gereja masih berorientasi pada urusan-urusan internal yang cakupannya sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit yang merasa soal-soal tersebut bukanlah urusan gereja dan membiarkan pemerintah mengambil alih urusan ini. Padahal sebenarnya gerejalah yang harus berperan aktif. Mengapa sebenarnya gereja harus terlibat dalam hal ini?
Tatkala Karl Barth memandang gereja sebagai institusi maka ia menjumpai ada 9 (Sembilan) unsur kelembagaan gereja yang salah satunya adalah pendidikan. Dengan kata lain ia sedang mengisyaratkan bahwa pendidikan dan gereja bukanlah hal yang terpisah dan gereja dalam hal ini berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk mendidik. Dalam hal ini tercermin bahwa gereja tidak dapat melarikan diri dari unsur yang merupakan bagian dari pembentukan jatidirinya. Gereja harus mengambil peran sebagai ‘garam’ dan ‘terang’ dalam dunia pendidikan. Harry Blamires dalam “The Christian Mind” menulis bahwa yang masih ada sekarang ini adalah etika Kristen (orang masih bermoral dan berusaha untuk tidak berbuat hal memalukan) dan spiritualitas Kristen (orang masih beribadah), sedangkan pikiran Kristen (Christian Mind) sudah tidak ada. Pikiran-pikiran yang berkembang dalam benak jemaat seringkali bersandar pada pikiran-pikiran sekuler-humanistik yang egois sekalipun mereka adalah warga gereja dan dibina dalam dan oleh gereja.
Ancaman bagi pendidikan gereja dan oleh gereja bukanlah datang dari agama-agama lain. Malah gereja harus bekerjasama dengan agama lain dalam pembentukan moral dan karakter bangsa menghadapi ‘musuh bersama’ yakni sekularisme. Barth sudah lama melihat bahwa sekularisasi akan merupakan ancaman bagi gereja-gereja di kemudian hari. Ia berujar bila sekularisme itu tidak lain adalah kerasingan yang dialami gereja pada saat ia tidak mau mendengar suara Gembala yang baik, namun malahan mengikuti suara orang asing. Pendidikan yang sekuler-humanistik belakangan ini malah semakin merajalela bahkan ironisnya tidak memberi ruang yang memadai bagi pendidikan agama yang dikerjakan gereja dalam dunia pendidikan atau bahkan oleh agama-agama lainnya. Pendidikan agama kendatipun tetap ada seringkali lebih diarahkan pada pemahaman kognitif agama ketimbang rasa-afeksi atau internalisasi nilai-nilai, atau bahkan hanya sekedar pelengkap sebuah kurikulum yang berketuhanan namun dampaknya sangat kecil bahkan terkesan basa-basi.
Apa yang dikuatirkan Barth masih terasa relevan dengan situasi sekarang dimana pendidikan kita seolah terasing dari pengaruh agama dan lebih berpihak pada kecondongan menciptakan manusia kerja yang cerdas dan terampil namun berwatak serakah, aji mumpung, opurtunistis, sektarian, fanatik, introvert, hedonis, kehilangan rasa hormat, tidak disiplin, lihai bermain kotor, egois, tidak loyal, mudah disuap, tidak berpendirian teguh, mengorbankan nilai-nilai keluarga, acuh tak acuh memandang hukum dan aturan, dan tidak dapat menjadi teladan.
Kini secara konkrit apa yang sebenarnya yang harus gereja kerjakan? Kekristenan melalui gereja mendorong agar dunia pendidikan kembali dipengaruhi oleh pemahaman kristiani tanpa mengabaikan sumbangsih pandangan agama-agama lain, dan tanpa bermaksud mengubah sebuah universitas menajadi sebuah seminari teologi atau mengkristenkan berbagai universitas.
Kekristenan harus menjadi sebuah kekuatan yang bersatu juga dengan penganut agama yang lain untuk menghadapi “musuh” bersama (menurut Louis Berkhof dan Cornelius van Til) dengan prasyarat:
a. Filsafat pendidikan harus didasarkan pada sebuah pengakuan pendidikan dalam bidang apapun memiliki hubungan asasi dengan Tuhan.
b. Kurikulum tidak lagi humanistik tetapi pada sebuah teosentris yang bebas namun bertanggung jawab (bukan kaku atau legalis seperti tunduk pada Taurat).
c. Naradidik merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan yang hanya akan tumbuh dengan benar bila diletakan berhadapan dengan Tuhan dan bukan terhadap dirinya sendiri.
Gereja dan agama-agama lainnya melakukan kaderisasi penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai bidang dengan mengutus, melatih, mendidik, mengirimkan dengan beasiswa semua kader-kader yang dianggap dan diperhitungkan kelak dapat menduduki posisi-posisi penting dalam semua strata pendidikan, sehingga dimungkinkan membawa kembali dunia pendidikan pada pikiran-pikiran yang menggarami dan bukan menyerahkannya pada kesesatan atheistik atau sekularisme-humanistik yang sempit.
Gereja mau terlibat aktif dalam sebuah penelitian, percakapan, bahkan dalam penyebaran pikiran-pikiran kristiani yang kembali ‘menggarami’ pola pikir dan gaya hidup masyarakat yang perlahan dan pasti sedang membusuk karena terlalu sering contoh-contoh buruk dipertontonkan kepada masyarakat.
Kedua, diabaikannya pikiran gereja dari lingkungan pendidikan juga dapat disebabkan oleh karena ketidakrelevanan berita gereja dalam konteks pendidikan bagi generasi muda dan bagi zaman modern karena pola pendekatan yang tidak diperbarui. Lyle Schaller, seorang konsultan gereja Amerika dari United Methodist mengemukakan bahwa gereja harus beradaptasi dengan era baru. Adaptasi di sini tidak berarti substansi pemberitaan Gereja harus diubah, tetapi yang mengalami perubahan adalah cara kita mengemas dan menyampaikan pesan Injil. Gereja seyogyanya harus mengemas isi pendidikannya sedemikian rupa agar mudah ditangkap dan dicerna oleh generasi muda sesuai zamannya. Pemutakhiran literatur pendidikan agama merupakan langkah yang harus dikerjakan gereja sesegera mungkin melalui jejaring gereja yang sudah ada (PGI dan yang sejenis) dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak yang memungkinkan terwujudnya maksud tersebut. Namun yang terpenting yang harus disadari gereja adalah bahwa tanggung jawab itu berada di tangan gereja sendiri.
Daniel Zacharias
education from womb to tomb
Langganan:
Postingan (Atom)