Ibadah dalam gereja seringkali menjadi begitu rutin. Lagu-lagunya terkadang dianggap tidak lagi membangkitkan aspirasi. Kotbah-kotbah sering berputar-putar pada etika dan soal masalah manusia. Paduan suara sering fokus pada bagaimana penilaian jemaat tinimbang penilaian Tuhan. Orang ke gereja bisa seenaknya menggunakan pakaiannya dan dengan entengnya menganggap Tuhan melihat isi bukan kemasan. Pendeta-pendeta berkibar di depan menggeser posisi Tuhan dan bila mereka digeser maka mereka akan menggunakan berbagai cara agar tidak tergeser dan itu wajar sekali! Pendeta ingin dikagumi dan bukan Tuhan, dan kalau Tuhan juga yang harus dikagumi maka pendeta tetap ingin kebagian sedikit dari kekaguman umat.
Beribadah adalah bentuk sebuah ketaklukan yang rela dan penuh kasih. Ibadah yang inspiratif tentunya masih harus terus-menerus diikuti oleh rasa kagum terhadap Allah. Manusia sekarang dalam ibadahnya sering sudah kehilangan kekaguman itu. Atau kalau ada pun kekaguman mereka terbantu dengan ruang gereja yang agung dan musik yang membangkitkan sensasi sakral dan terasa seolah hadirat Allah sedang ada dan bekerja. Kekaguman murni tidak butuh alat bantu. Kekaguman itu ada karena adanya kesadaran dan kesadaran tersebut adalah karya Roh Kudus yang disambut baik oleh sebagian orang.
Memuliakan Allah tanpa rasa kagum membuat pujian kita datar dan ucapan kita hanyalah berdasarkan hafalan atau kita membaca kata demi kata sesuai dengan tulisan di buku lagu. Memuliakan Allah dengan rasa kagum akan karya dan kasih-Nya akan membuat pujian begitu hidup, spontan, dan menjadi motif yang murni dalam ibadah itu sendiri.
Lalu kemana hilangnya 'kekaguman' semacam itu dari kebanyakan orang yang beribadah?
1. Kekaguman manusia hilang karena ia sedang kagum dengan tipu daya dosa. Meskipun habis berbuat dosa dia ke gereja namun karena ia masih terus kagum dan terikat dengan tipu daya dosa dan berkanjang dalam dosa maka pujiannya kepada Allah sudah pasti adalah ucapan "rayuan dari mulut buaya" tentunya.
2. Kekaguman manusia hilang karena ia sedang dirundung masalah. Manusia secara naif memandang masalahnya dan merasa bahwa hal itu begitu besar sehingga Allah tidak dilihatnya lagi. Apalagi bila ia harus menghadapi masalah yang datang beruntun dan lambat selesainya maka hal itu semakin mengokohkan dirinya untuk terpaku kepada masalahnya dan kekagumannya pada Allah perlahan-lahan digerogoti dan pada akhirnya malah "terlalu" berani bersikap terhadap Allah.
3. Kekaguman manusia hilang karena ia kagum terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang dipakai Allah luar biasanya biasanya akan mengatakan: terima kasih Tuhan atau sebaliknya mengatakan "wah ternyata boleh juga gue neh". Bila orang sudah fokus pada "aku" maka semua hal akan tergeser dari tempatnya termasuk rasa kagum terhadap Allah. Rasa kagum ini termasuk rasa kagum yang berlebihan selain kepada Allah. Hal ini juga mencakup soal pekerjaan, keluarga, dan hobby.
Masihkah anda menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan rasa kagum?
Pdt. Daniel Zacharias
24 Juni 2008
17 Juni 2008
"Kasih" Itu Kata Apa?
Saya agak menghela nafas membaca tulisan R. C. Sproul yang berjudul The Hunger for Significance (telah diterjemahkan oleh Momentum) yang mengatakan: "Dalam persepsi alkitabiah, kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang sebagai kata benda". Kasih lebih terkait dengan berbuat daripada dengan perasaan; kasih didefinisikan oleh tindakan.
Ketika saya coba tanya para peserta di kelas pemuridan, apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 22:37-40, maka semua orang terpancing (sesuai dengan pertanyaan "apa") mengatakan: "Yesus mengajarkan kasih". Akibatnya banyak sekali perenungan tentang apa itu kasih dan bagaimana dengan kagum kita melihat Kristus membuktikan kasih-Nya bagi manusia yang telah menyakiti hati-Nya. Sayangnya tidak ada yang menjawab apa yang Yesus ajarkan adalah "tindakan mengasihi".
Kasih selama hanya berupa kata benda maka ia sesuatu yang abstrak yang semua orang bisa bilang bahwa mereka memiliki tetapi atau tidak dan tak satupun yang dapat menunjukkannya. Namun ketika kasih dipahami sebagai kata kerja maka kasih itu bukan lagi kata monumental tetapi sebuah perbuatan yang berdampak buat dunia ini apalagi kalau kasih itu sendiri bersumber dari Allah.
Rasanya saya harus berhenti bicara sejenak dan mulai mewujudkan kasih sebagai tindakan nyata.
Pdt. Daniel Zacharias
Ketika saya coba tanya para peserta di kelas pemuridan, apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 22:37-40, maka semua orang terpancing (sesuai dengan pertanyaan "apa") mengatakan: "Yesus mengajarkan kasih". Akibatnya banyak sekali perenungan tentang apa itu kasih dan bagaimana dengan kagum kita melihat Kristus membuktikan kasih-Nya bagi manusia yang telah menyakiti hati-Nya. Sayangnya tidak ada yang menjawab apa yang Yesus ajarkan adalah "tindakan mengasihi".
Kasih selama hanya berupa kata benda maka ia sesuatu yang abstrak yang semua orang bisa bilang bahwa mereka memiliki tetapi atau tidak dan tak satupun yang dapat menunjukkannya. Namun ketika kasih dipahami sebagai kata kerja maka kasih itu bukan lagi kata monumental tetapi sebuah perbuatan yang berdampak buat dunia ini apalagi kalau kasih itu sendiri bersumber dari Allah.
Rasanya saya harus berhenti bicara sejenak dan mulai mewujudkan kasih sebagai tindakan nyata.
Pdt. Daniel Zacharias
Langganan:
Postingan (Atom)