Sidang Raya PGI XV pada tanggal 17-24 Nopember 2009 di Mamasa Sulawesi Barat yang mengangkat tema: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang” dan sub tema: “Bersama-sama seluruh komponen bangsa mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis”, tinggal beberapa bulan lagi. Lembaga yang berusia 59 tahun ini terlihat begitu berat melangkah mengingat berbagai tugas yang makin hari semakin berat, menghadapi tumpukan masalah-masalah internal, serta peran kenabiannya yang seringkali masih harus membentur tembok yang besar.
Memasuki masa persidangan kali ini ada beragam reaksi warga jemaat: ada yang berharap melalui persidangan ini melahirkan sesuatu yang akan membawa perubahan sekaligus kemajuan. Ada yang masih pesimis karena beranggapan bahwa selama ini kiprah PGI masih jauh api dari panggangnya bahkan terkesan masih sering berkonsentrasi pada hal-hal sekunder. Bahkan banyak yang apatis karena belum merasakan secara langsung peran PGI, atau masih banyak yang berpikir bahwa kegiatan persidangan ini atau kegiatan PGI lainnya lebih banya melibatkan para klerus yang berhak mengambil keputusan ketimbang para umat. Reaksi beragam ini tentunya tidak langsung dapat dipakai untuk menilai baik buruknya sebuah persidangan atau kiprah PGI secara umum namun setidaknya kita semua menjadi sadar bahwa apa yang diperjuangkan dalam persidangan belum semua dapat menjawab kebutuhan dari gereja-gereja anggota atau pihak-pihak terkait.
Terkait dengan hal tersebut maka ada baiknya melalui tulisan ini diajukan beberapa pandangan yang harapannya mewakili pandangan warga jemaat yang masih memiliki concernterhadap kiprah PGI, antara lain:
1. Visi Yang Masih Jauh Dari Jangkauan
Dalam sejarah PGI, terekam peristiwa 21-28 Mei 1950 dalam sebuah Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia di STT Jakarta, yang dihadiri 21 sinode, yang melahirkan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Secara khusus pada tanggal 25 Mei 1950 dibuatlah sebuah Manifes Pembentoekan DGI yang bunyinya: “Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.” Visi tersebut kemudian disempurnakan pada Sidang Raya X tahun 1984 di Ambon (sekaligus mengubah nama DGI menjadi PGI) menjadi mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa. Keesaan dalam konteks ini tidak dilihat dari segi struktural organisatoris tetapi pada kesepakatan untuk melaksanakan Lima Dokumen Keesaan Gereja bersama-sama maka disitulah keesaan terwujud. Menyikapi hal tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Dalam laporan Dirjen Birmas Kristen di tahun 2005 bahwa ada 323 Organisasi Gereja (Sinode Gereja) yang telah terdaftar di Ditjen Bimas Kristen (belum termasuk yang sudah terdaftar pada tingkat Kanwil). Berarti hanya ada 88 organisasi gereja (Sinode Gereja) yang merupakan anggota PGI dan sisanya merupakan anggota dari lembaga oikumenis lainnya. Dan sejak tahun 2005 Ditjen Bimas Kristen Protestan mengendalikan laju perkembangbiakan sinode baru tersebut dengan mengeluarkan kebijakan “Zero Growth Induk Organisasi Gereja” yaitu dengan tidak lagi melayani pendaftaran gereja baru dengan maksud menahan lajunya pertambahan dan peningkatan jumlah organisasi induk/Sinode gereja tetapi lebih menekankan pada pemberdayaan/pertumbuhan Gereja yang berkualitas, sejahtera dan bertanggungjawab.
Dalam Sidang Raya kali ini terlihat ada upaya untuk melakukan amandemen terhadap pasal 8.2.b TD PGI soal syarat keanggotaan PGI yang cenderung menaikan angka 2.000 orang menjadi 10.000 yang dampak positifnya secara tidak langsung juga mengarah pada upaya mencegah pendirian sinode baru (atau menampung sinode baru). Tetapi dalam hal ini tidak disebutkan mekanisme apa yang dipakai untuk meneliti kebenaran data dari jumlah anggota gereja-gereja baru tersebut.
Dalam kaitan dengan hal di atas rupanya ada 2 keprihatinan yang tampak jelas dalam fenomena menjamurnya tunas-tunas sinode baru yang lahir bukan disebabkan oleh hasil dari Pekabaran Injil tetapi lahir dari apa yang disebut “The Self Destructive Habits of Churches”, antara lain:
Pertama, Gereja bersatu karena alasan teologis dan menolak untuk bersatu (juga memecah diri) juga karena alasan teologis. Inilah yang merupakan salah satu 'keahlian' gereja masa kini. Alasan banyak gereja bersatu di dunia ini adalah karena mengutip ucapan Yesus 'ut omnes unum sint' (supaya semua menjadi satu) sebagai landasannya. Kemudian Gereja dengan terampil akan mengutip ayat-ayat lain yang makin memperkokoh pikiran ekumenis semacam itu. Namun dalam kenyataannya banyak gereja tidak mau bersatu karena alasan: kepemimpinan dan keuangan, dan kemudian alasan-alasan teknis tersebut dibungkus dengan alasan teologis. Istilah dari Alm. Pdt. Eka Darmaputera untuk fenomena ini adalah 'polarisasi', yang bukan saja berada di lapisan lokal tetapi juga merembet sampai ke aras Nasional. Dalam konteks belakangan ini kelihatannya polarisasi terbentuk bukan hanya karena faktor kepemimpinan atau karena faktor material (asset) tetapi juga faktor teologis.
Dalam sebuah dialog imajiner seseorang berkata kepada yang lain: "mengapa gereja anda yang belum bersinode ini tidak melakukan merger dengan gereja Advent yang sudah bersinode atau gereja Pentakosta yang juga sudah bersinode?" Maka jawaban yang kemudian muncul dari mulut pimpinan gereja tersebut adalah: "Kami berasal dari tradisi teologi yang berbeda". Ketika diminta selanjutnya: “Kalau begitu bergabunglah saja dengan gereja yang tradisi teologinya sama dengan gereja anda!”, “Oh maaf, tetap tidak bisa, karena kami memiliki kekhususan tersendiri.”Inilah gambaran kira-kira dari 'kehebatan' gereja masa kini yang mengetahui mengapa bersatu karena alasan teologis dan mengapa tidak bersatu juga karena alasan teologis.
Kedua, gereja masa kini jauh lebih mahir dan terampil memberi contoh kepada dunia bagaimana caranya memecahkan diri ketimbang menyatukan diri.Kita tidak dapat menyangkali bila gereja-gereja yang ada di Indonesia tidak sedikit merupakan perpecahan gereja dari luar negeri. Dan tidak juga kita sangkali di tangan kita sendiri gereja-gereja juga pecah menjadi kepingan-kepingan. Bahkan ada yang menyebutnya karena kehendak Tuhan atau karena perintah Tuhan. Padahal kalau dikaji benar soal 'kehendak atau perintah Tuhan' tadi maka akan sanggat janggal ketika kita mengetahui bahwa Yesus sedang memberi perintah yang menentang doa-Nya sendiri. Doa Yesus yang indah menjadi monumen gereja yang begitu agung tetapi telah kehilangan makna. Dunia sulit untuk percaya kepada gereja karena gereja tak mampu menunjukkan jatidirinya yang merupakan utusan dan representasi Kristus di dunia. Gereja yang semakin terpecah di satu sisi memenuhi keinginan untuk berkespresi tetapi di sisi lain memberi gambaran buruk dari ketidakmampuan menerjemahkan isi beritanya sendiri dalam kata dan perbuatan. Apapun kelihaian kita membungkus upaya perpecahan dengan berbagai dalih baik yang masuk akal maupun tidak, semua itu hanyalah bagian dari keadaan kita yang sebenarnya: "ketidakmauan kita mengakui apa yang tidak mau kita akui". H. Richard Niebuhr pernah mengatakan dalam bukunya The Social Sources of Denominationalism:"kalau denominasi itu adalah kemunafikan yang tidak mau diakui" (an unacknowledged hypocrisy)".
Tawaran yang ada di depan mata kita untuk mulai menghentikan ‘kebiasaan buruk’ gereja ini adalah dengan mulai mempelajari kembali kenyataan baru yaitu dengan adanya kecenderungan ‘Uniting Church’ yang hadir di dunia Internasional. Misalnya di Australia sejak 1977 yang merupakan gabungan dari the Congregational Union of Australia, the Methodist Church of Australasia and the Presbyterian Church of Australia, juga di Philiphina dengan UCPC-nya yang merupakan merger dari berbagai denominasi gereja di Filipina, dan di beberapa negara lainnya. Kenyataan-kenyataan ini setidaknya membuat kita berpikir ulang apakah penyatuan gereja dalam model ‘mangga’ masih dimungkinkan atau kita terus mempertahankan bentuk ‘manggis’ (atau ‘jeruk’) yang ruasnya makin hari makin banyak dan dapat diperkirakan akan bertambah lagi dalam Sidang Raya kali ini.
Untuk menghadapi kenyataan ini gereja hendaknya tidak memulai dengan sebuah penolakan yang terlampau dini dengan alasan yang dangkal, namun justru Gereja-gereja mau meluangkan waktu dan dana untuk melakukan studi menyeluruh dari kecenderungan baru ini, dan yang pada akhirnya PGI dapat memutuskan untuk menerapkannya atau memilih untuk mencari alternatif lainnya.
Bila PGI dan Ditjen Bimas Kristen memiliki kesamaan dalam memandang persoalan ini mau tidak mau dibutuhkan sebuah hubungan kemitraan yang egaliter antara pemerintah dengan gereja yang sempat mengalami ketegangan sebagaimana termuat dalam laporan sidang MPL PGI tahun 2008. Perlu diingat bersama bahwa Gereja pada fungsinya tak hanya menyuarakan suara kenabian tetapi juga menunjukkan sikap dan tindakan kenabiannya.
2. Asset Yang Terus Tergerus.
Gereja-gereja anggota PGI di saat sekarang ini benar-benar harus memikirkan jalan keluar untuk penyelamatan asset-asset PGI. Tidak sedikit asset PGI yang harus berpindah tangan dengan cara yang tidak sah kepada pihak lain. Penjualan dan pengambil alihan asset secara sepihak terjadi berulangkali dan itu dikerjakan oleh orang-orang dalam PGI sendiri di masa lalu. PGI mulai digerogoti dari dalam berpuluh tahun lamanya. Pada gilirannya PGI akhirnya harus ‘berseteru’ dengan pihak-pihak di luar gereja. Citra PGI sendiri ikut tergerus seiring dengan lenyapnya satu-persatu hak miliknya. Akibatnya PGI harus terus-menerus bertarung di pengadilan dan tidak jarang harus menelan pil pahit kekalahan dan menelan biaya yang tidak sedikit. Sangat disayangkan bila hal ini terus berlangsung.
Kelihatannya mulai harus dipikirkan sejak dini sebuah sistim yang mengatur pengelolaan asset sekaligus menyelamatkan (yang masih ada) dan bila mungkin maka asset-asset yang berada di tangan yang tidak sah dapat diperjuangkan kembali untuk dikembalikan ke tangan PGI.
3. Kepemimpinan Yang Handal
Kepempimpinan merupakan hal yang strategis dalam sebuah organisasi sekuler juga dalam organisasi gereja. Dalam perjalanan PGI lima tahun mendatang diperlukan pemimpin yang bukan saja dilihat dari kemampuan kepemimpinannya tetapi juga dinilai aspek rohani dan moralnya. Setidaknya kita belajar dari 59 tahun PGI memilih para pemimpinnya. Bila Kepempimpinan di dunia pemerintahan masih membutuhkan citra baik yang dapat menarik simpati masyarakat (dunia) maka hal tersebut di gereja justru harus semakin ditekankan. Di kalangan Gereja, Rasul Paulus, menyebut beberapa syaratnya ‘memiliki nama baik di luar jemaat’ dan ‘orang terhormat’ sekaligus ‘pendamai’ (1 Tim 3). Dengan keuntungan positif semacam ini gereja kelak tidak menjadi keranjang sampah caci maki dari pihak lain malah sebaliknya gereja menjadi terang di tengah kegelapan.
Ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian dalam persidangan kali ini:
a. Bila calon pemimpin adalah incumbent, maka perlu dikaji kinerja, moral, dan citranya di mata gereja-gereja anggota, bangsa serta dunia; sejauh mana hal itu memungkinkan yang bersangkutan untuk mencalonkan diri lagi. Pencalonan tanpa melihat kinerja, moral, dan citranya merupakan upaya mendorong sesuatu yang keliru yang menciderai gereja-gereja di masa mendatang.
b. Hal yang sama juga berlaku bagi para calon yang datang dari utusan yang mendapat rekomendasi dari gereja-gereja pengutus. Dilihat kinerja mereka di Sinode masing-masing, juga kehidupan moral dan citranya dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Memilih pemimpin bukan tergantung dari berapa banyak anggota gereja (kuota), gereja lama atau masih baru, timur atau barat, tetapi lebih pada nilai-nilai yang sudah diajukan terdahulu. Bila gereja ingin menjadi sebuah gerakan moral maka gereja juga tidak bermain-main dengan moral para pemimpinnya. Bila gereja ingin berdaya guna maka gereja jangan bermain-main dengan kinerja para pemimpinnya. Bila gereja ingn memiliki citra yang baik maka gereja juga jangan bermain-main dengan citra para pemimpinnya.
(telah dimuat di Majalah Berita Oikoumene September 2009)
Daniel Zacharias