30 Desember 2008

Renungan Memasuki Tahun Baru 2009 (2): BERGANDENGAN TANGAN MENYONGSONG MASA DEPAN

Yesaya 11:6-9

Yesaya 11 merupakan pemberitaan nabi yang jalin menjalin antara nubuat tentang kedatangan Kristus sebagai manusia dan kedatangan-Nya yang kedua kali. Nubuat mengenai inkarasinya terdapat dalam Yesaya 11:1-3 sedangkan nubuat tentang kedatangan-Nya dan masa depan orang percaya dalam rencana Tuhan terbentang mulai dari ayat 3b-10. Pembacaan kali ini erat kaitannya dengan pengharapan yang ditaruh di depan pandangan iman orang percaya tentang masa depan menurut versi Allah.

Hampir dari tiap orang yang kita jumpai menyampaikan nada-nada pesimis tentang suasana hidup masa kini, khususnya di Indonesia. Merenungkan sesudah satu dasawarsa kita menjalani krisis dan kemudian datang lagi krisis moneter yang baru, dan merenungkan kezaliman yang diderita oleh banyak orang, banyak gereja di berbagai tempat mendapatkan perlakuan yang tidak semena-mena, disusul oleh berbagai demo dan kerusuhan yang kemudian bermuara pada kebiadaban yang memperkosa hak asasi manusia; tidaklah heran bila banyak dari antara kita yang merasa hidupnya suram dan getir. Tidak sedikit yang bertanya: "Apa yang harus saya perbuat? Masih perlukah bertahan hidup dan bekerja di Indonesia, serta berharap bahwa perubahan positif masih ada dan masih mungkin? Masih bisakah kita berangan-angan tentang hari depan yang ceria, bersuasana hati penuh semangat? Hati kecil kita ditopang oleh berbagai pertimbangan realistis, berbisik was-was, jangan-jangan hari-hari depan akan menjadi semakin buruk. Jangan-jangan sesuatu yang lebih parah, lebih seram, lebih keji, lebih biadab lagi, malah masih akan terjadi!

Tuhan tidak mengizinkan kita untuk menjadi peramal. Sebaliknya kita diminta untuk hidup karena iman kepada Dia tentang hidup kita dengan sebulat hati. Kita diajari bahwa Dia mengatur sejarah dan bahwa Dia memproses umat-Nya dengan berbagai alat yang menghasilkan sesuatu yang penuh kebajikan bagi hidup umat-Nya (Roma 8:28). Kita diajar untuk menempatkan sebuah peristiwa hidup di Indonesia yang sedang membara dalam konteks luas pengendalian kekal Allah atas segala sesuatu dengan tujuan dan hasil yang pasti bernilai kekal pula.

Kita semua selaku jemaat Allah pun tidak menerima kalau kita harus bermental pesimis, pengecut, dan suram menapaki hidup ini. Kita semua wajib dari waktu ke waktu mengkaji ulang apakah kita tengah mengikuti langkah-langkah-Nya yang memimpin hidup kita. Di dalam keyakinan bahwa Allah pasti memiliki rencana untuk kepentingan kerajaan-Nya di dunia maupun di Indonesia, maka kita yakin bahwa harus ada umat Tuhan yang tetap bertahan, bertekun, berharap, dan berjuang baik secara moral maupun spiritual baik secara pribadi maupun selaku masyarakat Indonesia.

Di mana pun di dunia ini, kita menyaksikan berbagai gereja mengalami kemerosotan fisik, moral, dan spiritual yang luar biasa mengerikan. Sebenarnya semua kejadian ini mengingatkan kita akan satu hal. Bahwa kita sebenarnya adalah musafir Allah, dan dunia tidak menerima kita, sehingga di belahan dunia mana pun orang percaya tetap akan mengalami kesulitan dan tantangan. Dan sekarang mengapa nas yang kita baca begitu ideal?

Di manakah di dunia ini dapat kita jumpai binatang-binatang pemangsa dan yang dimangsa berbaring bersama? Serigala dengan domba, macan tutul dengan kambing? Semua itu terjadi tentunya karena ada perubahan mendasar pada sifat mereka. Lembu dan beruang akan makan rumput bersama, singa dan lembu akan makan jerami. Ular, si binatang tercerdik sekaligus terlicik, si binatang terkutuk, tidak lagi berbahaya. Permusuhan antara dia dan anak manusia telah berhenti.

Gambaran ini bukan fantasi tetapi situasi yang sedang diwujudkan Kristus sendiri. Peristiwa itu adalah lukisan dari karya-karya-Nya yang mulia yang mengubah seluruh kondisi dunia. Itulah arti syalom dalam penggenapan yang seutuhnya. Adanya damai dan sejahtera menghapus jejak akibat dosa. Itulah visi masa depan orang percaya, umat pilihan Allah, yang dari detik ke detik, harus kita resapi di relung dada kita yang terdalam dan bukan meragukannya.

Alkitab dalam nubuat apokaliptik ini tidak saja menggambarkan damai sejahtera atau syalom itu seperti benteng yang teguh yang membuat hati dan jiwa aman terpelihara dari ancaman yang berdatangan. Alkitab juga menggambarkan damai sejahtera mengalir seperti sungai yang membawa kesegaran, keindahan, pembaruan, pemurnian, dan kehidupan.

Apabila kita menyimak nas Alkitab dengan teliti kita akan mendapatkan bahwa Alkitab lebih banyak berbicara tentang damai sejahtera dalam dunia nyata daripada damai sejahtera dalam batin belaka. Alkitab dengan jelas berbicara tentang damai sejahtera di tanah kediaman Israel, damai dalam arti berhentinya peperangan dan permusuhan, damai bahkan dalam gambaran yang sangat puitis-dramatis ketika anak domba dan singa dilukiskan berbaring bersama di padang rumput. Damai sejahtera yang semacam itu adalah syalom, suatu kondisi ketika keadilan, kasih, kesetiaan dan damai menari-nari mesra di dunia sehingga membuktikan wujud konkrit adanya hubungan serasi dengan Allah, antar-manusia, dan antar sesama mahluk ciptaan. Damai sejahtera dalam arti penuh seperti yang Alkitab maksudkan adalah damai sejahtera batin dan lahir, spiritual dan fisikal, personal dan relasional.

Marilah kita baik selaku keluarga maupun jemaat menyongsong masa depan yang mulia yang berasal dari Tuhan. Hal itu menjadi kekuatan dan penghiburan justru di tengah-tengah beratnya hidup ini. Dari pada mengasihani diri sendiri, maka dengan iman kita mencurahkan perhatian dan kepedulian kita untuk mempersiapkan masa depan keluarga dan gereja serta bangsa yang mendapat sentuhan pemulihan dari Tuhan.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

29 Desember 2008

Renungan Memasuki Tahun Baru 2009 (1): MENGASIHI ALLAH LEBIH DALAM LAGI

Yohanes 21:17

Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: "Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?" Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: "Apakah engkau mengasihi Aku?" Dan ia berkata kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau." Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku

Tuhan Yesus memiliki cara yang ajaib untuk memulihkan kembali manusia yang pernah meninggalkan dan mengabaikan-Nya. Luar biasanya adalah bahwa Dia tidak mempermalukan kita. Dia tidak mengkritik kita seperi kebanyakan orang yang yang merasa rohaninya lebih tinggi. Ia juga tidak meminta kita untuk membuat upaya pemecahan ulang untuk mencoba lebih keras lagi. Sebaliknya, Ia meminta kita untuk meneguhkan kembali kasih kita kepada-Nya. Yesus langsung menyentuh akar permasalahannya.

Petrus pernah meninggalkan Yesus tatkala ia melarikan diri bersama para murid lainnya dari taman Getsemani. Bahkan di hadapan banyak orang Petrus menyangkal bila ia pernah mengenal Yesus. Petrus mungkin akan terheran-heran bila ia masih bisa menjadi murid Yesus padahal ia tidak setia pada Yesus tatkala Gurunya berada pada saat-saat yang genting. Padahal Petrus pernah berkata, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!" (Luk 22:33). Pada kenyataannya jawaban Rasul Petrus sering tidak jauh berbeda dengan jawaban dan praktek hidup kita.

Tatkala kita memulai sebuah tahun yang baru, kita mungkin dengan pedih menyadari bila kita telah meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya dalam berbagai cara. Mungkin kita telah meninggalkan dan menyangkal-Nya karena kita hidup tidak setia. Mungkin kita telah meninggalkan dan menyangkal-Nya karena kita tidak taat pada firman-Nya. Mungkin kita telah meninggalkan dan menyangkal-Nya lewat cara hidup kita yang menyakiti hati-Nya.

Namun, namun lihatlah apa yang Yesus lakukan bagi kita? Yang Ia akan lakukan adalah Ia akan bertanya kepada kita seperti yang Ia lakukan terhadap Petrus. Ia tidak mencaci-maki kita. Ia tidak akan mempermalukan kita. Ia tidak mengejar-ngeja kita dengan dakwaan. Ia hanya akan bertanya di dalam batin kita, “Apakah engkau mengasihi-Ku?” Jika jawabanmu seperti jawaban Petrus, “Ya Tuhan”, maka Ia akan meneguhkan kembali kehendak-Nya dalam diri kita. Jika kita sungguh mengasihi-Nya, kita akan menaati perintah-Nya (Yoh 14:15). Kasih kita kepada Tuhan mengawali dan membuka jalan untuk sebuah ketaatan kepada Tuhan.

Kita sering menyatakan keyakinan kita bahwa kita mengasihi Allah tetapi pada saat yang sama kita menyadari bila kita ternyata lebih sering bertindak sebaliknya. Penghalang utama mengapa kita mengasihi Allah dalam situasi yang maju mundur tidak terletak pada faktor luar tetapi terletak di dalam diri kita sendiri yakni pada: kehendak manusia kita atau kehendak kita sendiri. Pada kenyataannya kita lebih suka berbicara mengenai kehendak-Nya daripada melakukannya. Ingatlah kita tidak dapat mengerjakan kehendak Allah tatkala kita terus sibuk mengerjakan kehendak kita sendiri. Kita tidak dapat bersungguh-sungguh berdoa, "Datanglah kerajaan-Mu" sampai kita secara resmi berdoa, "kerajaanku pergilah". [Tim Impian Tuhan, 23].

Ketidakpercayaan dan kekerasan hati kita akan hak dan agenda pribadi kita adalah belenggu yang mengikat sehingga kehendak Allah tidak dapat turun dalam hidup dan pelayanan kita. Banyak di antara kita yang lebih suka mengutamakan agenda kita daripada agenda Allah. Banyak di antara kita lebih tertarik pada hal menjaga hak-hak kita daripada mengejar maksud-maksud Tuhan. [Tim Impian Tuhan, 34].

Ego kita sering mengesampingkan penalaran kita. Kita lebih suka kalah dengan kehendak yang tak terpatahkan daripada menang dan menjadi tunduk. Penyembahan terhadap kehendak bebas dan promosi kita terhadap agenda pribadi menjelaskan mengapa kita sebagai gereja, gagal bergumul untuk dapat mengasihi Allah lebih dalam lagi. Ketidaktaatan dan ketidaktundukan kita menjual kredibilitas kita. Tidak beralasan bagi dunia untuk percaya bahwa kita berasal dari Allah bila kita bertindak seperti Iblis. [Tim Impian Tuhan, 30]. Tatkala Stalin dalam keadaan sekarat mengepalkan tinjunya ke arah langit hal itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak berasal dari Allah.

“Seandainya seorang raja mencintai pelayannya yang miskin,“ begitulah seorang filsuf Denmark, Søren Arby Kierkegaard (1813-1855), mengawali perumpamaannya. Bagaimana cara sang raja menyatakan cintanya kepada pelayan itu? Mungkin sang pelayan akan menanggapinya karena takut atau terpaksa, padahal sang raja ingin pelayan itu mencintainya dengan tulus. Maka kemudian sang raja yang sadar bahwa ia tidak boleh tampil sebagai raja bila tak ingin menghancurkan kebebasan orang yang dikasihinya, memutuskan untuk menjadi orang biasa. Ia meninggalkan tahtanya, melepas jubah kebesarannya, dan memakai pakaian compang-camping. Ia bukan hanya menyamar, tetapi benar-benar memiliki identitas baru. Ia sungguh-sungguh menjadi pelayan untuk memikat hati sang pelayan muda yang dicintainya. Ini layaknya sebuah taruhan. Pelayan itu mungkin akan mencintainya, atau justru menolaknya habis-habisan sehingga ia tidak akan mendapatkan cintanya seumur hidupnya! Namun begitu jugalah pilihan yang diberikan Allah kepada manusia, dan tentu saja, itulah makna perumpamaan di atas. Tuhan kita merendahkan diri-Nya untuk memenangkan hati kita. “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri (Filipi 2:5-7). Sekarang pertanyaannya adalah: akankah kita mengasihi-Nya lebih dalam lagi atau kita menolak, mengabaikan, atau bahkan meninggalkan-Nya?

Lalu apa yang harus saya perbuat?
Kita membutuhkan pertolongan Roh Tuhan. Roh Kudus harus menempelak kita, dan roh ketaatan dan ketundukan harus melingkupi kita, atau kita sama sekali tidak akan pernah mencapai apa yang Tuhan inginkan kita lakukan yaitu: "mengasihi Dia lebih dalam lagi" [Tim Impian Tuhan, 41].

Tidak mudah membuat komitmen untuk mengasihi Allah dan setia menjalaninya. Komitmen kita seringkali tidak mampu mencapai masa yang panjang. Stamina rohani kita tidak selalu berada dalam kondisi puncak. Bila dikalkulasikan, mungkin catatan kegagalan kita untuk memenuhi komitmen yang kita buat sendiri akan terlihat menumpuk. Kegagalan demi kegagalan mewarnai perjalanan iman kita. Inilah cermin dari natur lama kita sebagai manusia yang lemah dan berdosa. Kini di hadapan kita terbentang tahun yang baru untuk ditempuh dan Ia hanya minta satu hal: lebih dalam mengasihi-Nya.

Yesus tidak membutuhkan pemecahan kita, komitmen kita yang berulang-ulang jatuh dan bangun, janji-janji kita yang coba kita penuhi dengan lebih keras lagi di tahun baru ini. Jika tekad kita menaati Allah lalu ternyata tidak menolong kita untuk setia, maka itu juga akan membuat kita tidak berhasil di tahun baru ini maka itu artinya kita telah salah bertindak. Yesus hanya meminta kasihmu. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi-Nya, maka baik sikap, ketundukan, penyerahan, bahkan pelayanan kita kepada-Nya di tahun yang baru ini akan lebih berkualitas seperti yang Ia inginkan (dz).

DOA
Tuhan kami ingin menjadikan Engkau menjadi Tuhan atas hidup kami dan tidak hanya sekedar memanggil Engkau Tuhan.
Roh Kudus, kami memohon kiranya Engkau meyakinkan dan menyempurnakan kami sehingga kami dapat mencapai apa yang Bapa ingin kami lakukan.
Kami berdoa agar kerajaan kami lenyap sehingga kerajaan-Mu dapat datang.
Kiranya kehendak kami dihancurkan sehingga kehendak-Mu dapat terlaksana di bumi seperti di surga.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

26 Desember 2008

Allah Yang Bekerja Dalam Sejarah Umat Manusia

Lukas 2:1-7

Tatkala nabi Mikha menubuatkan, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala. Sebab itu ia akan membiarkan mereka sampai waktu perempuan yang akan melahirkan telah melahirkan; lalu selebihnya dari saudara-saudaranya akan kembali kepada orang Israel. Maka ia akan bertindak dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan TUHAN, dalam kemegahan nama TUHAN Allahnya; mereka akan tinggal tetap, sebab sekarang ia menjadi besar sampai ke ujung bumi, dan dia menjadi damai sejahtera" (Mikha 5:1-4a); maka yang ada di benak kita adalah bahwa:

Allah sedang merancang untuk memakai satu kota untuk mencapai maksud-Nya dan kota itu adalah Betlehem. Pribadi yang dimaksud adalah pribadi yang sudah ada sejak dahulu kala dan akan muncul di Betlehem secara khusus. Orang pilihan yang dimunculkan Allah di Betlehem adalah orang yang akan menggembalakan Israel dalam kekuatan dan kemegahan nama Tuhan.

Rencana Allah ini diletakan di atas kota Betlehem. Hal itu baru terwujud 500 tahun kemudian. Injil Lukas mencatat: “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia. Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria” (Luk 2:1-2). Apa yang tercatat dalam Injil Lukas tersebut merupakan sebuah keistimewaan yang pada akhirnya dipakai Allah untuk menggenapi rencana-Nya. Mengapa dikatakan istimewa?

Allah Berdaulat Penuh Memasuki dan Memakai Sejarah Manusia
Kaisar Agustus adalah kepala pemerintahan Roma yang nama sebenarnya adalah Gaius Oktavius memerintah dari tahun 27 sebelum Masehi sampai dengan tahun 14 Masehi. Perintah Kaisar Agustus untuk melakukan sensus menjadi pemicu bagi kehadiran Yusuf dan Maria hadir di Betlehem. Keduanya sudah menerima fakta bahwa mereka telah menjadi suami dan isteri tetapi sama sekali tidak mengetahui bahwa mereka harus ke Betlehem dan disana anak mereka akan lahir. Perintah Kaisar Agustus secara kasat mata memang tidak ada hubungannya dengan nubuat nabi Mikha karena Kaisar Agustus sendiri tidak mengenal apalagi percaya pada nubuatan nabi Perjanjian Lama itu. Niat Kaisar Agustus untuk mengadakan sensus adalah untuk keperluan pemungutan pajak bagi penduduk kerajaannya dan juga untuk memperoleh calon-calon bagi wajib militer. Peraturan sensus penduduk tersebut setiap orang dicatat nama dan tempat tinggalnya sesuai dengan kota asal mereka. Tetapi kita percaya bahwa perintah Kaisar Agustus itu tidak berdiri sendiri. Allah sedang memasuki sejarah dan memakai orang-orang di dalam sejarah untuk mewujudkan sejarah keselamatan yang sedang Ia bentangkan. Pada hakikatnya Allah sedang tidak merancang sebuah “History” (sejarah) tetapi justru sedang menjalankan “His-story” (atau cerita Allah sendiri). Ia berdaulat mengatur seorang kaisar kafir untuk menyusun sebuah peristiwa yang kelihatan biasa saja untuk maksud-Nya yang luar biasa. Apalagi penulis Lukas menekankan bahwa “pendaftaran yang pertama kali diadakan”, jadi sebuah peristiwa perdana yang begitu istimewa tersebut dimaksudkan sebagai ide manusia tetapi di balik semua itu Allah berdaulat penuh mengatur segala sesuatunya, disadari atau tidak oleh manusia.

Sensus itu juga memungkinkan Yusuf dan Maria untuk memasuki kota Betlehem seperti yang telah dinubuatkan nabi Mikha dan melahirkan sang Mesias di sana. Betlehem adalah kota Daud karena raja Daud lahir di sana. Perjalanan yang harus ditempuh Yusuf dan Mariauntuk mewujudkan rencana Allah itu menempuh jarak 120 km dengan medan berat dan mengendarai seekor keledai. Dan kota tersebut ada di daerah Yudea yang pada waktu itu ada di bawah jajahan kerajaan Roma.

Bekerjanya Allah dalam sejarah umat manusia membuktikan bahwa Ia peduli dengan kondisi hidup manusia dan sekaligus membuktikan bahwa “sejarah” yang seringkali secara arogan menyebut dirinya sebagai sistem tertutup ternyata tidak dapat menghalangi Allah untuk melakukan intervensi terhadap perjalanan waktu.

Allah Memiliki Kesanggupan Untuk Mewujudkan Rencana-Nya Sekalipun Ia Mempergunakan Orang Lain
Nubuat yang Allah sampaikan melalui para nabi memang tidak selamanya langsung diwujudkan oleh Allah, terkadang Ia memakai orang lain, bangsa lain untuk mewujudkannya. Bagi kita bukan siapa yang mengerjakan penggenapan itu tetapi siapa yang berkuasa mengendalikan penggenapan tersebut. Kelahiran Yesus di Betlehem memang diatur secara tidak langsung oleh Kaisar Agustus melalui program sensusnya, tetapi hal itu dikendalikan oleh Allah yang sudah sejak permulaan zaman berjanji dan menubuatkan rencana-Nya. Allah sangat berkuasa tanpa bermaksud menghilangkan kebebasan manusia untuk melakukan kehendaknya sendiri.

Melalui kenyataan ini kita semakin meyakini bahwa Allah tidak hanya berada di sorga dan mengawasi kita tetapi Ia juga bahkan hadir bahkan terlibat aktif dalam menolong manusia menghadapi pergumulan-pergumulan baik terhadap dosa maupun dalam menghadapi keterbatasan hakikat manusia itu sendiri.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

23 Desember 2008

Allah Yang Mengarahkan Kaki Umat-Nya Ke Jalan Damai Sejahtera

Lukas 1:76-79
1:76 Dan engkau, hai anakku, akan disebut nabi Allah Yang Mahatinggi; karena engkau akan berjalan mendahului Tuhan untuk mempersiapkan jalan bagi-Nya,
1:77 untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka,
1:78 oleh rahmat dan belas kasihan dari Allah kita, dengan mana Ia akan melawat kita, Surya pagi dari tempat yang tinggi,
1:79 untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera."



Yohanes yang menjadi perintis dipersiapkan Allah untuk beberapa hal:
  • Mempersiapkan jalan bagi Allah.
  • Memberikan kepada umat-Nya akan pengertian akan keselamatan berdasarkan pengampunan dosa.

Melalui kedua hal tersebut maka Allah akan melakukan tindakan untuk:

  • Melawat kita.
  • Menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut.
  • Mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera.

Dengan memperhatikan urutan-urutan perbuatan tersebut kita mendapatkan 2 pelajaran utama:

TIDAK ADA JALAN MENUJU DAMAI SEJAHTERA TANPA PERTOBATAN.
Dalam ayat-ayat di atas disebutkan dua kali yang terkait dengan pemulihan manusia dari dosa:
a. Yohanes diutus oleh Tuhan untuk mencerahkan pikiran dan hati umat sehingga mereka bisa mengenal dosa dan meninggalkan dosa (ayat 77).
b. Allah sendiri akan bertindak menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungat maut (ayat 79).
Pertobatan merupakan harga mati dari sebuah kehidupan yang penuh damai sejahtera Allah. Kehidupan penuh damai sejahtera Allah bukanlah sebuah mimpi utopis manusia atau buah dari teologi kemakmuran, tetapi janji Allah sendiri yang kemudian menjadi pengharapan bagi segenap umat manusia. Kelihatannya tidak ada jalan pintas untuk menuju sebuah kehidupan umat, keluarga, gereja, bahkan negara yang penuh damai sejahtera tanpa sebuah aspek pertobatan spiritual dan praksis.

Mereka yang “diam dalam” … disini berarti sama dengan ‘berada atau tinggal dalam … “, yaitu orang-orang yang hidupnya selalu dalam keadaan gelap/buruk dan selalu takut karena berbagai hal atau kesulitannya atau yang selalu terancam kesulitan berat. Dalam hal ini naungan maut menggambarkan bahwa manusia tanpa Allah ada dalam hidup bayang-bayang kematian.

Kehidupan Farisi dan para Ahli Taurat adalah kehidupan yang menipu karena di satu sisi mereka berada di dalam wilayah rohani tetapi pada hakikatnya mereka sebenarnya mereka berada dalam kegelapan. Berada dalam pelayanan dan memiliki jabatan pelayanan sama sekali tidak mencerminkan pertobatan seseorang tetapi justru terletak pada perubahan cara berpikir dan bertindak dalam pandangan kebenaran Tuhan (bukan ego pribadi). Malah jabatan rohani bisa menjadi tempat persembunyian orang-orang yang menyangka hidup dalam terang tetapi sebenarnya gelap.

PERTOBATAN KITA TIDAK BERAKHIR DALAM SEBUAH PERUBAHAN GAYA HIDUP SAJA TETAPI MENCERMINKAN ANUGERAH PENYELAMATAN ALLAH DAN KEHIDUPAN YANG BERORIENTASI DAMAI SEJAHTERA.
Seringkali pertobatan dipandang hanyalah sebuah perubahan paradigma berpikir dan perilaku padahal pertobatan justru merupakan cermin dari sebuah bagian dari karya penyelamatan Allah yang mengarahkan manusia hidup dalam damai sejahtera. Pertobatan tidak berdiri sendiri tetapi pertobatan manusia karena anugerah Allah menolong manusia menuju pada sebuah kehidupan yang berada dalam ‘jalan damai sejahtera’ (jalan kehidupan yang penuh damai. Kata ‘damai sejahtera[1] sejajar dengan Shalom yang memiliki pengertian cukup luas untuk itu yang tidak sekedar sebuah keadaan damai tanpa perang, atau ucapan salam belaka, tetapi kehidupan yang harmonis bebas dari rasa cemas, juga situasi perdamaian dengan Allah, dan juga bicara mengenai keselamatan umat manusia melalui pemerintahan Kristus (bnd. Luk 2:14).

Pertobatan senantiasa menghasilkan buah-buah yang baik dan positif. Dalam keluarga seseorang akan menjadi anggota keluarga yang bertanggung jawab dan rohani. Dalam pekerjaan seseorang akan melakukan hal-hal yang jauh dari kejahatan korupsi, kolusi, bahkan nepotisme primordial yang sempit dan menyesatkan. Dalam gereja seseorang akan menjadi pelayan yang rendah hati, mengasihi sesama, tidak merancang kejahatan, pelayanannya mendapat apresiasi dari jemaat, kata-katanya penuh dengan kasih dan bukan ancaman serta kehidupan rohaninya mengalami pertumbuhan dan tidak terjebak pada kehidupan yang masih terikat pada kebiasaan-kebiasaan lama yang tak pernah ditinggalkannya.

Kehidupan damai sejahtera bukanlah kebiasaan ‘nanti dan disana’ tetapi juga dapat menjadi sesuatu yang terjadi ‘sekarang dan disini’. Damai sejahtera Allah dinikmati sejak dini di dunia ini dan mendapatkan pleroma-nya dalam sebuah kehidudapan abadi bersama dengan Allah.


[1] EIRENE peace; (1) as a state of peace (LU 14.32); fig. as agreement between pers. (JA 3.18); (2) as a greeting or farewell corresp. to the Heb. word shalom, health, welfare, peace (to you) (1T 1.2); (3) as a relig. disposition characterized by inner rest and harmony peace, freedom from anxiety (RO 15.13); (4) as a state of reconciliation w. God (GA 5.22); (5) of end time condition, as the salvation of mankind brought about through Christ's reign (LU 2.14; AC 10.36).

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Allah Yang Menepati Janji

Lukas 1:72-75
1:72 untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus,
1:73 yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita,
1:74 supaya kita, terlepas dari tangan musuh, dapat beribadah kepada-Nya tanpa takut,
1:75 dalam kekudusan dan kebenaran di hadapan-Nya seumur hidup kita.


Allah adalah pribadi yang senantiasa membuat perjanjian dan kemudian menepati janji. Allah yang membuat perjanjian di dalam perikop ini sebenarnya bukan baru muncul pada ayat 72 tetapi sebenarnya telah muncul pada ayat 70 dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIS).

Dalam Terjemahan Baru tertulis:
-- seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus --
Dalam Terjemahan Lama tertulis”
seperti yang difirmankan-Nya dengan lidah segala nabi-Nya yang kudus, daripada permulaan dunia,
Dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari:
Dahulu kala melalui nabi-nabi pilihan-Nya, Tuhan telah memberi janji-Nya

Secara tersirat kata ‘janji’ di BIS terdapat di dalam kata ‘telah difirmkankan-Nya’ (TB) dan ‘difirmankan-Nya’ (TL). Artinya perkataan Tuhan buat para nabi di zaman dahulu kala telah masuk ke dalam kategori janji yang bersifat profetik-soteriologis. Nabi adalah orang yang menyampaikan pesan-pesan (firman) dari Allah kepada orang atau bangsa tertentu atas perintah Allah sendiri. Kata ‘kudus’ menyiratkan bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup atau bekerja khusus untuk (kepentingan/melayani) Allah, dan tentu saja atas kehendak dan kemauan Allah sendiri.

Allah yang berjanji, bahkan yang telah bersumpah, dapat berarti:

Allah adalah pribadi yang memiliki rencana yang baik bagi umat-Nya.
Allah bukanlah pribadi yang berjanji tanpa alasan. Janji-janji Tuhan senantiasa membawa kebaikan buat manusia. Dengan berjanji Allah tidak saja menunjukkan kepedulian-Nya tetapi niat-Nya yang mulia. Memang janji tidak langsung saat itu juga ditepati (berdasarkan waktu Allah sendiri) namun hal itu tidak berarti bahwa Allah berubah rencana. Allah yang berencana adalah Allah yang dengan matang mempertimbangkan segala sesuatunya berdasarkan mekanisme yang ada ada dalam diri Allah sendiri yaitu: Mahatahu dan Mahakuasa. Nubuat Allah di dalam PL memang tidak selamanya berisi penyelamatan tetapi juga terkadang berisi kecaman dan pembinasaan. Namun dibalik semua ekpresi itu tetap terkandung maksud Allah yang baik. Allah menyatakan maksud-Nya bukan untuk menghukum tetapi semata agar manusia menjadi sadar.

Allah adalah pribadi yang berkuasa mewujudkan rencana-Nya.
Kemahakuasaan dan kemahatahuan Allah yang membuat Allah sangat mungkin sanggup untuk mewujudkan rencana-Nya sendiri. Bagi gereja masa kini, melihat berulangkali Allah telah berjanji dan berulangkali menggenapinya, maka tidak ada keraguan bagi kita untuk mempercayai Pribadi yang tidak hanya sanggup berjanji tetapi juga sanggup untuk menepatinya.

Allah adalah pribadi yang setia menggenapi janji-Nya sendiri.
Allah tidak saja Mahakuasa dan Mahatahu tetapi Ia juga adalah Allah yang setia. Kesetiaan Allah yang menyatakan perjanjian-Nya sejak ribuan tahun lalu (zaman Abraham dan selanjutnya) benar-benar teruji. Tak ada satupun kata-kata Allah dalam Perjanjian Lama yang tidak digenapi-Nya di dalam Perjanjian Baru. Gereja modern sepatutnya memiliki sebuah pengharapan yang tidak saja memuja otoritas dan kekuatan Tuhan tetapi juga karakter kesetiaan Allah yang membuat semua janji-Nya semakin diyakini pasti tergenapi.

Tujuan dari janji tersebut adalah: KITA TERLEPAS DARI TANGAN MUSUH[1] dan KITA BERIBADAH KEPADANYA TANPA TAKUT[2]. Musuh yang ada dalam konteks ini tidak selamanya diterjemahkan pada pengertian politis tetapi justru diarahkan pada maksud kedatangan Kristus sendiri untuk mengalahkan kuasa kegelapan dan maut dalam pengertian penggenapan seutuhnya. Sedangkan beribadah kepada Tuhan dalam hal ini tidak diterjemahkan secara sempit dalam sebuah pengertian liturgis tetapi lebih pada sebuah relasi yang semakin hari secara kuantitas dan kualitasnya makin menguat.

[1] Kisah Para Rasul 26:18: “untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan”.
[2] Ibrani 4:16: “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya”.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Allah Yang Melawat dan Melepaskan Umat-Nya

Lukas 1:68-71
1:68 "Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya,
1:69 Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu,
1:70 -- seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus --
1:71 untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita


“…sebab Ia yang melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya …” (ayat 69) adalah bagian pertama dari nyanyian ZakhariNa yang dikenal dengan istilah Benedictus. Nyanyian Zakharia ini muncul ketika ia sedang dipenuhi oleh Roh Kudus (ayat 1). Jadi perkataan Zakharia bukan sebuah rekaan dari seorang ayah tentang masa depan anaknya, namun merupakan kelanjutan berita ilahi yang sudah disuarakan sejak purbakala. Nyanyian Zakharia ini sama sekali memperlihatkan suasana dan corak Perjanjian Lama. Kerajaan Mesias seperti yang dinantikan orang-orang Yahudi tentulah bukan hanya “kerajaan rohaniah” yang “tidak dari dunia ini”. Sebaliknya, orang Yahudi mengharapkan pulihnya kebesaran kerajaan Daud, yang melakukan “peperangan Tuhan” dan melepaskan orang Israel dari penjajahan di bawah musuh-musuh kafir (bnd. Kis 1:6, dimana ternyata bahwa para murid Yesus masih belum dapat mengatasi pengharapan duniawi!).[1] Namun apa yang terdapat dalam nyanyian ini tentulah bukan atas dasar pertimbangan politik atau timbul dari sebuah nasionalisme yang berlebihan. Bagi orang Israel kebebasan politik bukanlah tujuan, tetapi adalah syarat untuk kebebasan rohaniah yang sungguh-sungguh! Orang-orang saleh di Israel mengharapkan kelepasan dan kebebasan supaya mereka dapat mengabdi kepada Tuhan dalam hidup yand ditandai oleh “kekudusan dan kebenaran”, yaitu hubungan yang benar dengan Allah dan dengan sesama manusia.[2]

Zakharia memuliakan Tuhan bukan tanpa alasan. Ketika ia memuji Tuhan ia langsung menghubungkan puji-pujiannya itu dengan alasan pujian yang ia naikkan. Alasan pertama karena Allah adalah ALLAH YANG MELAWAT dan yang kedua adalah ALLAH YANG MEMBAWA KELEPASAN.

ALLAH YANG MELAWAT
Kata melawat dalam bahasa Gerika adalah ‘episkeptomai’ yang berarti lebih dari sekedar Allah mendatangi atau melihat umat manusia tetapi untuk memastikan apakah manusia dalam keadaan yang baik atau bermasalah, kemudian kata ini juga bernuansa bila manusia sedang bermasalah maka Allah dengan kata tersebut ingin mengetahui apa yang terbaik yang Ia harus lakukan bagi kebaikan manusia. Dalam hal ini kata ini sesungguhnya mengarahkan pada maksud soteriologis atau dengan kata lain melawat berarti mengunjungi untuk menyelamatkan atau memberi pertolongan kepada umat-Nya.

Proses pelawatan ini sudah terjadi sejak Eden, ketika Allah mendatangi Adam dengan pertanyaan: “dimanakah Engkau?” (Kejadian 3). Namun proses pelawatan ini berlangsung terus dan menyeberangi lintasan abad. Allah memakai cara itu juga ketika mendatangi Israel yang terjajah Mesir di zaman Eksodus[3].

ALLAH YANG MEMBAWA KELEPASAN
Kata ‘membawa kelepasan’ dapat diterjemahkan menjadi sebuah kata kerja yang diikuti oleh obyek, yaitu ‘melepaskan mereka’ atau ‘membebaskan mereka’. Kebebasan yang dimaksud termasuk kebebasan dari penjajahan (pada waktu itu, oleh orang/bangsa lain yaitu Romawi), tetapi mungkin pula ini meliputi kebebasan dari perbuatan-perbuatan yang jahat serta akibat-akibatnya.[4] Bagian ini selanjutnya dihubungkan dengan kata-kata “Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi” yang adalah sebuah kiasan yang sering dipergunakan dalam Perjanjian Lama (1 Sam 2:10; 2 Sam 22:3; Maz 75:5). Tanduk yang dimaksud di sini ialah tanduk binatang yang kuat, misalnya sapi, yang melambangkan kekuatan atau keperkasaan. Kalau dalam bahasa sasaran ‘tanduk’ tidak dikenal sebagai lambing kekuatan, maka lebih baik diterjemahkan artinya saja, seperti dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini ‘penyelamat yang perkasa’. Bagi manusia modern tentunya tidak berarti khusus bagi orang Israel saja, tetapi “bagi semua manusia”[5].

[1] B. J. Boland, Tafsiran Alkitab: Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1969), 42.
[2] Ibid.
[3] Keluaran 2:24-25: Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub. Maka Allah melihat orang Israel itu, dan Allah memperhatikan mereka.
[4] M. K. Sembiring (ed.), Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas (Jakarta: LAI, 2005), 48.
[5] Ibid., 49.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

Allah Memperhatikan Orang Yang Rendah

Lukas 1:46-49
1:46 Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan,
1:47 dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku,
1:48 sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,
1:49 karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus


Apa yang diucapkan Maria dalam Magnificat ini sejajar dengan yang dikemukakan pemazmur dalam Maz 113:7: “Ia menegakkan orang yang hina dari dalam debu dan mengangkat orang yang miskin dari lumpur”. Kesejajaran ini tampak dalam pengertian:

1. Memperhatikan
Tuhan rupanya bukanlah pribadi yang hanya memakai orang-orang tanpa mengerti situasinya. Pujian Maria membuktikan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang penuh perhatian. Perhatian itu diletakkan tanpa pandang bulu dan membuat orang yang menerimanya menjadi terkesima. Memperhatikan di sini berarti “memperhatikan dengan penuh kasih” atau “kelemahlembutan”[1]. Perhatian Allah digerakkan oleh kasih agape yang memungkinkan orang-orang yang tidak layak menerima menjadi dilayakan-Nya.

2. Kerendahan Hamba-Nya
Sebagaimana konteks dari Mazmur 113, maka yang dimaksud dengan “rendah” atau “hina”, bukan ditinjau dari segi moral atau tingkah laku, tetapi dari segi kedudukan seseorang di tengah-tengah masyarakat. Jadi bagian ayat ini dapat juga diungkapkan menjadi, “sebab Ia telah memperhatikan daku dengan penuh kasih, hamba-Nya yang miskin ini” atau “… yang kedudukannya rendah” … atau yang bukan orang besar”.

3. Perbuatan-perbuatan Besar Kepadaku
Ucapan Maria ini didasari atas apa yang ia ucapkan pada ayat 49 yang mengatakan: “karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku”. Maria merasakan bahwa apa yang telah diperbuat Allah bukan saja terjadi “pada” dirinya, tetapi juga “untuk” dirinya[2]. Makin jelaslah bahwa Allah memang memakai seseorang untuk kepentingan diri-Nya dan banyak orang tetapi hal tersebut tidak berarti Ia mengabaikan orang yang dipakai-Nya.

[1] M. K. Sembiring (ed.), Pedoman Penafsiran Injil Lukas (Jakarta: LAI, 2005), 37.
[2] Ibid.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

11 Desember 2008

DOA ADVENTUS: DOA JÃœRGEN MOLTMANN

Masa Adventus tidak selamanya merupakan tengokan ke belakang, namun juga merupakan pandangan pengharapan ke depan akan kehadiran Mesias yang eskaton. Sehingga Advent bukan penyambutan peristiwa Betlehem belaka tetapi juga untuk peristiwa parousia. Dalam masa Adventus ini ada baiknya kita merenungkan apa yang tertera di Sing me the song of my World[1] yang merupakan doa yang mengekspresikan trintitarisme eskatologis, berorientasi baik pada praksis maupun pada doxology, kemana perkembangan itu membawa:

BAPA DI SORGA

sudah waktunya engkau datang.
Karena waktu kami hampir habis
dan dunia kami sedang menuju kematian.
Engkau telah memberikan kami kehidupan satu bersama dengan yang lain.
Kami telah menghancurkannya dengan menyatakan perang satu terhadap yang lain.
Engkau mengaruniakan kami pepohonan dan hutan-hutan.
Kami sudah menebangnya.
Untuk burung-burung engkau memberikan musim semi
dan untuk ikan-ikan sungai-sungai.
Kami telah melenyapkan musim semi dan mengotori sungai-sungai.
Kepada karya ciptaan-Mu
engkau memberikan keseimbangan.
Kami telah mengganggunya dank arena itu mendatangkan kesedihan.
Datanglah, Pencipta semesta,
perbarui wajah yang tanpa kehidupan dari bumi ini.
Buanglah ketidakbahagiaan kami
berikanlah kami pengharapan akan Hari-Mu
ketika, pada perdamaian dengan setipa ciptaan,
kami dapat tertawa dan memuji-Mu

Kristus Yesus, Sahabat kami,
kami tidak dapat berjalan dalam rombongan-Mu
tanpa tetangga kami,
mereka yang dekat dan mereka yang jauh
teman-teman dan musuh-musuh.
Terus-menerus menjadi sahabat orang berdosa,
menjadi miskin dengan orang miskin,
menjadi lemah dengan orang yang lemah,
terkutuk dengan mereka yang terbuang,
mereka itu, dan kami dengan mereka, boleh mempunyai kehidupan.
Kami mengharap kedatangan kerajaan-Mu
seperti kami mengharap perdamaian dalam dunia yang terpecah ini.
Kami percaya akan kehadiran-Mu
sama seperti kami percaya dalam hidup yang penuh arti
bahkan ketika berhadapan dengan kesia-siaan dari kematian.
Kami mencari kedatanganmu
seperti kami merasa lapar akan makanan kami sehari-hari.
Datanglah, Tuhan Yesus, datanglah segera.

Roh Kudus, Engkau kami kenal
sebagai kuasa yang dari atas,
sebagai penghibur dalam kesesakan.
Kami berseru kepadamu dan seruan kami membesarkan hati kami.
Kami menyeru Engkau dan Engkau menyeru bersama kami.
Kami menantikan Engkau dan Engkau ada dalam hati kami.
Bukakanlah mata kami dan kami akan melihat
tapak kakimu di atas jalan kami.
Berikanlah kami ketenangan dan kami akan mendengar
keluhan-keluhan-Mu di dalam penjara-penjara kami.
Ambillah dari kami apa yang harus Engkau ambil
sampai kami datang beristirahat di dalam Engkau
dan merasa bahwa kami sedang mengaso,
sadar akan kehidupan-Mu di dalam diri kami,
kasih-Mu yang menyala dan kekuatan-Mu yang mendorong,
kesedihan dan kebahagiaan-Mu mendalam di hati kami.
Datanglah Roh Pencipta,
kosongkan hati kami dari kegelisahan yang mementingkan diri sendiri,
isilah roh kami dengan kasih yang kreatif.
Berikanlah kami khayalan-khayalan dan penglihatan-penglihatan dari
kerajaan kebebasan-Mu.
Jadikanlah kami bersedih kalau mereka dikhianati,
kalau mereka tidak menjadi kenyataan.

Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Waktunya sudah tiba, waktu untuk penggenapan sejarah.
waktu untuk menjadikan semua satu dengan Allah dan dalam Allah.


Selamat menziarahi masa adventus yang sulit untuk digambarkan ...

[1] Richard Bauckham, Teologi Mesianis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 174-176. Bahan tersebut dikutip dari D. Cremer, Sing me the song of my World, diterjemahkan oleh B. Davies (St. Paul Publications, Slough, 1981), hlm. 140-141.

Daniel Zacharias
education from womb to tomb

24 November 2008

Ragi Orang Farisi

Matius 16:6:
Yesus berkata kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki."

Matius 16:11:
“Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti bahwa bukan roti yang Kumaksudkan. Aku berkata kepadamu: Waspadalah terhadap ragi orang Farisi dan Saduki.”

Markus 8:15:
“Lalu Yesus memperingatkan mereka, kata-Nya: "Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes.”


Peringatan Yesus tentang “ragi orang Farisi” tentunya sekalipun memiliki makna simbolik tetapi tetap mencerminkan pengertian “adanya pengaruh” yang buruk dari orang Farisi.

Ragi orang Farisi itu antara lain:
  • Mereka paling getol berbicara tentang kekudusan. Sayangnya kekudusan mereka adalah kekudusan lahiriah belaka dan tidak menyangkut hal yang batiniah.
  • Mereka paling getol berbicara tentang keistimewaan kedudukan mereka. Mereka adalah umat pilihan Allah dan yang lain adalah kafir. Keistimewaan kedudukan mereka tidak dilihat dengan positif tetapi dengan mata sombong. Pada akhirnya keistimewaan kedudukan mereka tidak jadi berkat buat bangsa lain malah menjadi sandungan. Bukan itu saja mereka juga seringkali merasa lebih baik dari pemungut cukai dan pelacur, sehingga doa mereka di Bait Allah akan terasa superior dengan mengatakan: "dan kami tidak seperti orang itu".
  • Mereka paling getol berbicara tentang apa kata Kitab Suci menurut pandangan mereka bukan menurut pandangan Tuhan. Berulang kali Yesus membantah cara penafsiran mereka baik soal Taurat termasuk hal-hal praksis sehari-hari. Kisah Yesus menyembuhkan orang lumpuh pada hari Sabat menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti firman Allah atau dengan kata lain mereka menerjemahkannya menurut pengertian mereka sendiri.
  • Mereka paling getol menghubungkan hal-hal keseharian dengan hal-hal rohani tanpa hikmat. Bayangkan soal mencuci tangan sebelum makan saja jadi soal yang berkepanjangan. Bisa jadi hal-hal itu jadi muncul sekarang ini baik soal makanan, soal pakaian, soal jenggot, soal hamba Tuhan tidak boleh berkumis, soal sembahyang pakai tudung, soal gereja hari apa.
  • Mereka paling getol menunjukkan (memamerkan) praktek-praktek rohani. Orang yang berdoa di dalam Bait Suci menunjukkan prestasi rohaninya, orang-orang yang berdoa di pinggir jalan, berdoa dengan tali sembahyang yang panjang, juga memberi sedekah dengan munafik, berpuasa dengan munafik, adalah sesuatu yang sedang ditunjukkan agar orang melihat dan memuji perbuatan mereka. Menurut Yesus, “Sesungguhnya mereka telah menerima upahnya”.
  • Mereka paling getol menunjukkan dosa dan kesalahan orang. Berulang kali orang Farisi tidak memulihkan orang tetapi menuding orang, mencari-cari kesalahan orang, menjebak orang agar orang bisa dikalahkannya. Itulah yang Yesus katakan kalau mereka bisa melihat ada selumbar di mata orang sedangkan balok di mata mereka sendiri tidak mereka lihat. Kita juga begitu pandai mengkoreksi orang tetapi sulit mengkoreksi diri sendiri.
  • Mereka paling getol menghakimi dan menghukum orang ketimbang mengampuni dan mendoakan orang yang bersalah. Agama mereka tidak cukup mencintai karena hanya habis untuk menghukum dan merajam orang dengan batu. Benarlah apa kata pepatah: Agama kita tidak cukup untuk mengasihi dan memperdulikan orang lain karena telah habis kita serap untuk mengurusi kebencian dan sumpah serapah kutukan.
  • Mereka paling getol menunjukkan kefanatikan mereka. Kebencian mereka terhadap orang dunia membuat mereka tidak pernah bisa memenangkannya tetapi malah semakin menyakitinya. Mereka selalu menghindar dari kerumunan orang-orang yang dianggap orang berdosa. Mungkin kalau di zaman sekarang inilah gambaran dari gereja yang salah tolak: harusnya dosa orang tetapi kadang-kadang terbuang bersama orang-orangnya.
Saya berdoa agar ragi itu tidak terus-menerus ada dalam diri saya dan gereja Tuhan.

Daniel Zacharias
~education from womb to tomb~

23 November 2008

Kepemimpinan Kristen

Dalam tulisan ini pemahaman Kepemimpinan Kristen identik dengan Kepemimpinan Rohani. Patut diakui bila pengertiannya bisa saja tidak sama. Kepemimpinan Kristen bisa saja berbicara tentang Kepemimpinan dalam kumpulan orang-orang Kristen, atau Kepemimpinan dari orang Kristen, yang belum tentu menggambarkan suatu petunjuk yang rohani, namun tesis ini memahami secara ideal kalau pemimpin rohani adala pemimpin Kristen dan pemimpin Kristen haruslah berarti pemimpin yang rohani. Bila ada ketidaksejajaran dalam praktek hal itu tidak merusak definisi tetapi lebih dikatakan sebagai anomali yang perlu mendapat perbaikan.

Kepemimpinan Kristen yang dipahami pula sebagai kepemimpinan rohani tidak hanya menunjuk pada pribadi seorang pemimpin yang beragama Kristen dan atau berada dalam lingkungan orang-orang Kristen tetapi memuat sarat nilai-nilai kerohanian Alkitabiah baik secara idealis maupun pragmatis. Secara idealis menunjukkan bahwa kepemimpinan rohani itu memiliki prinsip-prinsip filosofis yang esensial dan dalam tataran pragmatis kepemimpinan itu diwujudkan dalam terang prinsip-prinsip filosofis yang bernuansa etis teologis.

Kita menggunakan istilah yang lebih tepat kepada kedua pokok ini saat menyebutnya dalam sebuah kesatuan pemikiran yang disebut dengan istilah praxis. Thomas Groome mendefinisikan kata tersebut sebagai berikut:

For now let it be understood as “reflective action”, that is, a practice that is informed by theoretical reflection, or, conversely, a theoretical reflection that is informed by practice. I use it here in preference to the more common word practice because the latter term very often has the connotation of a skill or a technique, or of something that is done as the application of theory and is thus, in fact, dichotomized from theory. The term praxis attempts to keep theory and practice together as dual and mutually enriching moments of the same intentional human activity. [1]

Dalam konteks kepemimpinan pengertian Groome dalam konteks pendidikan Kristen masih terasa cukup relevan mengingat sekalipun berada dalam bidang telaah yang berbeda keduanya memiliki dua wilayah sebagai titik berangkat yakni: teori dan praktek. Groome yang memilih pengertian praxis karena ia hendak menekankan pengertian teori dan praktek bersama-sama sebagai sesuatu yang peristiwa yang berpengertian rangkap (dwifungsi) dan saling memperkaya dari aktivitas manusia.

1. Definisi
Banyak definisi tentang pemimpin dan kepemimpinan dengan berbagai fokus dan penekanan. Berikut ini kita akan menelusuri beberapa definisi yang terkait dengan kepemimpinan dan aspek-aspek yang terkait dengan pokok tersebut.

Kepemimpinan oleh A. J. Lindgreen didefinisikan sebagai:

Leadership is the process of influencing the actions and behaviour of persons and/or organization through complex interactions toward goal achievment.[2]

Definisi singkat yang padat ini memuat beberapa aspek:
  • Kepemimpinan itu adalah proses, ia membutuhkan jangka waktu tertentu dan melalui tahapan tertentu.
  • Kepemimpinan itu memiliki kuasa untuk mempengaruhi.
  • Pengaruh kepemimpinan terarah pada tindakan dan sikap pribadi-pribadi dan atau organisasi.
  • Pengaruh kepemimpinan melewati medium pengaruh timbal balik yang saling mempengaruhi antara yang memimpin dengan yang dipimpin.
  • Interaksi yang terjadi kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen.
  • Kepemimpinan memiliki tujuan, arah, dan target.

Berdasarkan uraian dari definisi Lindgreen maka telah sedikit tersingkap bila kepemimpinan bukan pekerjaan atau pokok pembicaraan yang mudah dan sederhana. Namun hal itu tidak berarti kalau kepemimpinan itu sendiri tidak dapat dikerjakan atau dipraktekkan oleh manusia.

H. Siagian melihat kepemimpinan itu sebagai suatu cara atau teknik pimpinan atau manajer untuk mengarahkan dan menyuruh orang lain mau mengerjakan apa yang ditugaskan.[3] Dalam pandangan Siagian kepemimpinan bukan lagi sebuah filosofis, teori, atau prinsip belaka tetapi lebih pada sebuah praxis. Kepemimpinan tanpa teknik maka ia hanyalah sebuah pemikiran. Dengan kata lain kepemimpinan bukan juga semata-mata menjalankan sebuah roda kepemimpinan tetapi ia memiliki tekniknya tersendiri yang mempertimbangkan faktor-faktor interdispliner.

Lindgreen sendiri selain menentukan batas-batas definitif untuk kepemimpinan, ia juga menggambarkan luasnya kepemimpinan yang tidak hanya menyangkut diri pemimpin itu sendiri tetapi juga menyangkut orang yang dipimpin dalam upaya mencapai tujuan:

Leadership does not reside in the person of the leader alone. It involves accomplishing goals through persons. Leaders cannot function without the involvement of members.[4]

Kemudian Lindgreen sendiri menyatakan bahwa tujuan dari kepemimpinan adalah mempengaruhi tingkah laku dan tindakan orang dan atau organisasi. Dari definisi Lindgreen semula maka tampaklah bila tujuan kepemimpinan itu memiliki dwi arah yakni: tujuan yang terkandung dalam sebuah kepemimpinan yakni bisa mempengaruhi orang lain atau organisasi dan tujuan yang dicapai bila seseorang atau organisasi sudah dapat dipengaruhi.

Kepemimpinan adalah hal yang tidak mudah dikerjakan tetapi tidak pula dapat dihindari. Sehubungan dengan tidak mudahnya kepemimpinan dan tidak dapat dihindarinya kepemimpinan maka Eka Darmaputera menulis:

Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan, dan kemajuan kelompok apa pun ... tanpa kepemimpinan yang baik, kelompok apa pun di dunia ini akan rentan konflik serta rawan perpecahan, dan oleh sebab itu sulit bertumbuh atau berkembang. Kalaupun bergerak, geraknya pun sekadar maju-mundur, ke sana kemari, dan tanpa arah ... Disamping vital, kepemimpinan adalah kenyataan yang tak terelakan bagi semua orang. Di mana ada kehidupan bersama, di mana pun di muka bumi ini orang cuma punya dua pilihan: dipimpin atau memimpin.[5]

Apa yang dikemukakan Eka logis sekali penalarannya dalam kaitannya dengan kepemimpinan. Sebuah keteraturan sistem tidak otomatis terjadi. Keteraturan sosiologis dalam sebuah kepemimpinan lahir dari sebuah pengaturan. Keteraturan dan pengaturan membutuhkan seseorang yang dianggap mampu mengatur. Dapat kita bayangkan bila dalam sebuah sistem semua orang turut mengatur maka yang akan timbul adalah sebuah kekacauan. Eka dalam tulisannya ini hendak mengatakan bila kepemimpinan harus diciptakan dan disepakati eksistensinya, sebab itu bukan karena dibuat supaya ada tetapi karena hal itu tak dapat dielakan. Pilihan dipimpin atau memimpin membuat dimensi kepemimpinan semakin jelas walaupun aspek kepemimpinan tidak sesederhana itu. Selanjutnya Eka memaparkan:

Kepemimpinan dalam suatu kehidupan bersama memang tak terhindarkan. Ini sesuatu yang lumrah dan alamiah. Namun, kepemimpinan itu harus mengacu kepada mandat atau penugasan Allah, Sang Pemimpin satu-satunya: untuk mengembangkan kemungkinan saling menolong serta kesepadanan, kesetarafan atau kesetaraan ... mandat kepemimpinan yang diberikan oleh Allah kepada manusia bersumber pada kesegambaran antara manusia dengan Allah ... kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah. Kepemimpinan yang menghidupkan dan menghidupi, bukan menindas. Kepemimpinan yang adil, bukan sewenang-wenang. Kepemimpinan yang kudus, tidak dikotori oleh hawa nafsu “kehendak berkuasa” (will to power) yang destruktif.[6]

Rupanya Eka menyadari benar bila kepemimpinan merupakan salah satu aspek Imago Dei dalam diri manusia. Allah adalah pemimpin yang memberikan mandat kepada manusia untuk memimpin (baca: berkuasa) semesta. Manusia tak hanya menerima mandat untuk memimpin tetapi juga dalam kepemimpinannya mencerminkan kepemimpinan Allah. Eka juga menegaskan bahwa kepemimpinan adalah natur ilahi dalam insani yang tak terhindarkan dari sebuah kesegambaran. Namun kesegambaran yang mendukung hadirnya kepemimpinan tidak serta merta tidak dapat terkontaminasi, faktanya sekalipun kepemimpinan adalah natur Imago Dei ia masih bisa diselewengkan dengan adanya “kehendak berkuasa” yang pada gilirannya tak lagi mencerminkan mandat dan kesegambaran itu.

Telah disebutkan di depan bila interaksi yang terjadi dalam kepemimpinan itu kemungkinan akan terasa begitu kompleks mengingat kepemimpinan menyangkut banyak komponen. Sehubungan dengan itu W. R. Lassey sebagaimana dikutip Lindgreen mengemukakan:

Leadership involves the interaction of a complex set of variable factors that determines its effectivenes.[7]

Lindgreen menambahkan bahwa faktor-faktor variabel itu beragam, untuk itu ia mengutip Douglas McGregor:

Douglas McGregor identifies four key variables of leadership:
(1) The characteristic of the leader, these include such qualities as skill possesed, previous experience in similar situations, skill in comunicating and relating to persons, and the personal feelings of the leader about self confidence, anxiety, acceptance and hostility.
(2) The characteristic of followers or members
(3) The characterstic of the organization or the group
(4) The environmental setting including the social, economic, cultural, and political milieu.
[8]

Selain karakteristik pengikut rupanya yang mempengaruhi keefektifan kepemimpinan adalah karakteristik dari pemimpin itu sendiri, karakteristik organisasi atau kelompok yang dipimpinnya, dan kondisi lingkungan tempat ia memimpin dalam berbagai faktornya. Namun tanpa menyepelekan 3 (tiga) faktor lainnya maka dalam penelitian ini fokus yang begitu disorot adalah pada karakter pemimpin itu sendiri. Pertimbangannya adalah bahwa sekalipun ketiga komponen lain selain pemimpin itu sendiri turut menentukan tetapi faktor kunci adalah pemimpin itu sendiri. Pemimpinlah yang menentukan maju mundurnya sebuah perjalanan kelompok atau organisasi.

Ada 3 (tiga) unsur penting menurut Sugiyanyo Wiryoputro dalam kepemimpinan:
1. adanya orang lain yang bersedia mengikuti perintah
2. adanya pengaruh pemimpin kepada orang lain yang selanjutnya menjadi pengikut
3. adanya kuasa atau wewenang pemimpin kepada bawahan.[9]

Dalam pokok yang ketiga kuasa atau wewenang yang dimaksud adalah:
1. Kuasa memberikan balas jasa terhadap apa yang dihasilkan bawahan
2. Kuasa memaksa atau kuasa memberikan dukungan
3. Kuasa formal berdasarkan aturan atau hukum
4. Kuasa agar orang meniru pola perilaku atau kuasa panutan
5. Kuasa berdasarkan pengetahuan atau keahlian[10]

Kepemimpinan tanpa kuasa atau wewenang tidak akan berjalan, atau bila berjalan pun itu dijalankan dengan memakai kuasa mempengaruhi orang lain secara tidak wajar. Kuasa atau wewenang tumbuh karena orang yang memimpin memiliki unsur-unsur yang dapat mengantar seseorang memperolehnya. Kuasa dapat didapat karena kesepakatan, karena kelebihan, karena kharisma, dll.

2. Kepemimpinan Rohani

Pertama-tama persoalan muncul adalah dari perkataan Yesus sendiri dalam Matius 23:10:

Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu pemimpinmu, yaitu Mesias

Pengertian yang muncul setelah membaca nas ini adalah tidak mungkin ada pemimpin di dalam kekristenan apalagi pemimpin. Namun di depan telah dibicarakan bahwa pemimpin dan kepemimpinan merupakan sesuatu yang tak dapat ditolak atau dielakkan. Ayat di atas rupanya tidak bermaksud untuk melarang esksistensi pemimpin dan kepemimpinan dalam kekristenan. Fakta biblis yang dipakai untuk mendukung pandangan ini adalah dengan memperhatikan I Tesalonika 5:12:

Kami meminta kepadamu, saudara-saudara, supaya kamu menghormati mereka yang bekerja di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan yang menegur kamu.

Paulus ternyata secara tersirat mengatakan ada pemimpin dalam jemaat. Tetapi jenis kepemimpinan para pemimpin itu ditandai dan dibatasi dengan “memimpin … dalam Tuhan”. Kepemimpinan yang dimaksud di sini adalah kepemimpinan rohani.

I Timotius 5:17
Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.

Paulus juga secara tersirat menyatakan bahwa para pemimpin-pemimpin tersebut memiliki kegiatan khusus pula yakni berkhotbah dan mengajar. Atau dalam bagian lain Paulus menunjukkan pimpinan sebagai karunia:

Roma 12:8
… siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukan dengan rajin; …


I Korintus 12:28
Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk … memimpin …


Yesus melarang adanya pemimpin dalam konteks banyak pemimpin di jaman itu yang tidak memberi teladan yang benar. Jadi yang dikritik oleh Yesus bukan hakikat atau eksistensi pemimpin dan kepemimpinan tetapi pada karakter pemimpin itu sendiri yang kemudian justru merusakan hakikat dan merendahkan wibawa eksistensi dari kepemimpinan.[11] Ia sendiri akhirnya mengatakan

Matius 23:10
Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.

Lukas 22:26
Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.

Perkataan Yesus ini di satu sisi memiliki nuansa pemegang otoritas tetapi di sisi lain adalah pemimpin-hamba yang memiliki simplisitas (servant-leader).

William D. Lawrence menulis:
Christian leadership is different from other kinds of leadership because no Christian leader can assume the position of being “number one,” that is, the leader. This is true because those who believe in Christ know there is only one “Number One,” namely, the Lord Jesus Christ.[12]

Karena perbedaannya itu maka hal dasar yang perlu diperhatikan oleh para pemimpin ada 2 hal:

First, a leader must have a clearly defined awareness of the Lord’s revealed purposes. He must know what the leader wants. He must be aware of the place God’s Word has in all of life and must be aware that God seeks to accomplish His truth, love, and righteousness in His followers.
Second, this truth, love, and righteousness must be evident in the Christian leader’s character, behavior, and relationships if he is to expect other believers to respond him as their leader. Paradoxically the Christian leader must be ultimate follower, a follower of the Leader Himself.
[13]

Sekalipun seorang pemimpin adalah pemimpin di depan orang yang dipimpinnya namun ia tetaplah hamba dari Allah. Ia memimpin sebagaimana Allah memimpinnya. Dan tujuan ia memimpin adalah orang dituntun mengikuti Kristus. Tujuannya harus terus terfokus kepada Kristus dan menunjukkan pada orang lain bagaimana melakukannya.[14]

3 Otoritas Pemimpin
R. J. Arnott dalam Dictionary of Pastoral Care and Counseling menulis tentang otoritas sebagai berikut:

Authority refers to a fundamental relationship between persons, behaviours, organizations, and ideas in which one component has, or is deemed to have, important or legitimate power over the other. The English term is rooted in the Latin, “auctor” meaning “producer of a work, artist, founder of a family, writer, originator of a proposal, author of piece of information or warrant for its truth. “Authority thus refers to a person who is the source, originator of a proposal, expression of approval or assent, authorization, full power, command,” and thus also “influence, authority, whether of a person or of things” … In English “authority” carries many meanings: the power or right to enforce obedience, a doctrine of moral or legal supremacy, the right to command or to give the ultimate decision … authority, however, is not limited to behavior or action, but extends to the inward, subjective dimensions of human life, as in “power over the opinions of others” or the inwardly felt power of conscience in relation to social authority. In theory of organization and government, the word has two meanings: (1) authorization or empowerment and (2) ordering and control.[15]

Adalah tepat jika memilih Yesus Kristus sebagai model kepemimpinan rohani yang berotoritas. Ia memiliki kekayaan teladan sebagai Gembala yang menggembalakan dan memimpin umat-Nya. Jerry C. Wofford menulis:

Lebih dari pemimpin yang lain, Yesus mempunyai otoritas untuk memaksa para pengikut-Nya menaati perintah-Nya. Ia dapat menjalankan pengawasan mutlak, tetapi para murid-Nya mengikuti Yesus karena undangan-Nya. Ketika banyak pengikut-Nya meninggalkan Dia, Yesus menoleh kepada para murid-Nya dan dengan rendah hati bertanya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga” (Yoh 6:67). Bukannya menaklukan Israel, Yesus justru mengasihi dan menderita bagi Israel. Yesus memiliki kekuasaan untuk mendominasi tetapi Ia memilih untuk menghormati kehendak bebas dan pilihan-pilihan orang lain.

Sebagai pemegang otoritas Yesus menggunakannya pada saat yang tepat. Tidak seperti kebanyakan pemimpin di jaman sekarang yang menjalankan kepemimpinannya dengan kekuatan otoritas kekuasaan. Otoritas kekuasaan bukan satu-satunya yang dipakai Yesus dalam memimpin murid-Nya. Tidak dipergunakannya tidak berarti Ia lemah, tetapi Ia tahu menempatkan pada situasi yang lebih tepat.

Lawrence dalam kaitan dengan pokok otoritas mengaitkannya dengan keotentikan:

Leadership requires authenticity and authority. Authenticity of commitment to Christ’s lordship, recognizing Him as “Number One,” enables the leader to carry out one of his major tasks, that of being a model of Christlike maturity for those whom he leads. This authenticity makes the leader a living statement of all God wants His peole to be. Authority is also required and grows out authentic Christian character. Such character means congruence between attitude, word, and action, a congruence that speaks of integrity and serves as a magnet to draw others who listen and respond to the leader. Sanders observes that “Paul never lacked followers. His qualities of character irresistibly lifted him above his colleagues and associates.” What was true of Paul must be true of all Christian leaders.[16]

Otoritas tetap dibutuhkan sekalipun seseorang telah menyebut dirinya seorang pemimpin yang melayani. Namun otoritas yang dimilikinya ditunjukkan dengan cara yang berbeda dengan otoritas para pemimpin sekuler. Lawrence merumuskannya sebagai berikut:

The difference between secular leadership and Christian leadership does not lie in absence of authority but in attitude that motivates authority, the sanctified nature of ambition and motivation, and the holy character mentioned earlier. Servant leaders must exercise authority if Christian churches and organizations are to develop and grow. They are needed to model godliness, make policies, manage finances, give direction, hold the group accountable for its purpose and actions, and provides the human layer of security under Christ which is needed if unity is to be maintained.[17]

Otoritas pada tataran praktek dapat menghancurkan atau menciptakan sesuatu. Otoritas yang menghancurkan menuntut adanya pengaruh yang menguasai, menuntut kendali yang menyeluruh, menghancurkan kepercayaan, menghancurkan dialog, dan menghancurkan integritas. Dibutuhkan otoritas yang membaharui memberi hidup, sukacita, dan damai sejahtera. Otoritas yang memperbaharui memulihkan hubungan dan memberikan karunia keutuhan kepada semua orang. Kuasa yang membaharui adalah otoritas rohani, otoritas yang berasal dari Allah. Kasih adalah ciri dari otoritas rohani. Kasih menuntut bahwa otoritas digunakan untuk kebaikan orang lain. Kerendahan hati adalah otoritas yang dikendalikan.

4. Pemimpin-Hamba
Pemimpin-Hamba adalah suatu paradoks dan hadir secara sempurna dalam diri Yesus (Flp 2). Yesus adalah Allah dan Dia sendiri menyebut diri-Nya sebagai seorang Gembala (Yoh 10). Tetapi di sisi lain menyebut diri-Nya sebagai seorang pelayan karena “melayani” (Mark 10:45). Dalam kaitan dengan pembahasan ini Wofford menulis:

Yesus adalah model pertama tentang pemimpin yang melayani. Dalam proses pengenalan gagasan tentang kepemimpinan yang melayani dalam Markus 10:42-45, Yesus berkata bahwa Ia datang untuk melayani dan memberikan kehidupan-Nya. Yesus datang sebagai hamba yang menderita yang akan “memikul kejahatan mereka” (Yes 53:11). Di setiap akhir hari yang panjang, kita melihat Yesus yang kelelahan karena memberikan sepenuh hidup-Nya untuk memberi makan bagi yang kelaparan, menyembuhkan yang sakit, dan mengajar domba-domba Israel yang terhilang. Walaupun begitu, pelayanan penting dan utuh yang Ia lakukan semasa hidup-Nya tidak dapat dibandingkan dengan pelayanan-Nya di dalam kematian-Nya. Dalam kematian-Nya sebagai korban di kayu salib.[18]

Wofford menegaskan karakter pemimpin-hamba yakni pemimpin yang mengesampingkan minat-minat pribadi mereka demi orang-orang yang dilayani. Teori Kenosis dalam Filipi 2 jelas menggambarkan bagaimana Ia mengorbankan diri-Nya demi keselamatan orang lain.[19] Selanjutnya Wofford menulis tujuh daftar dari kepemimpinan di dalam kerajaan Allah:

  • Mereka yang akan menjadi pemimpin harus dipersiapkan untuk menderita (Mat 20:22; Mark 10:38).
  • Mereka memang akan menderita (Mat 20;23; Mark 10:39).
  • Kepemimpinan di antara orang-orang percaya tidak memakai pendekatan “menguasai” para pengikut maupun menggunakan jenis kekuasaan otoritas yang digunakan oleh pejabat pada masa itu (Mat 20:25-26; Mark 10:42-43; Luk 22:26).
  • Para pemimpin beriman Kristen harus menjadi hamba bagi mereka (Mat 20:26-27; Mark 10:43; Luk 22:26).
  • Yesus sendiri adalah model kepemimpinan yang melayani (Mat 20;28; Mark 10:45; Luk 22:27).
  • Kerendahan hati adalah kualitas utama dari karakter pemimpin Kristen (Mark 9:36-37; Luk 22:26).

Wofford membuat perbandingan antara pelayan dengan pemimpin yang melayani:
Perbandingan Pelayan dan Pemimpin yang Melayani[20]

Pelayan

  • Roh rendah hati
  • Melayani kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi
  • Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
  • Menderita dan berkorban untuk orang lain
  • Hubungan yang saling memperhatikan

Pemimpin Yang Melayani

  • Menyadari dipanggil – Matius 20:23
  • Mengenal nilai-nilai yang dimiliki dalam kaitannya dengan Allah – Ibrani 11:26
  • Tidak memegahkan diri, tetap sabar – Yakobus 4:6; Roma 12:3-8; Ef 4:32
  • Mengetahui bahwa satu-satunya yang perlu adalah sikap merendahkan diri – Yohanes 13:14
  • Mengutamakan panggilan lebih dari diri sendiri – Kisah 20:24
  • Tidak gila status – Yakobus 1:9
  • Melayani orang lain di atas kepentingan pribadi
  • Nilai-nilai yang kuat untuk melayani orang lain – Roma 12:5-8
  • Visi terfokus pada pelayanan – Roma 1:9-10
  • Sikap dan tindakan murah hati – Roma 12:8
  • Pelayanan sebagai prioritas – Luk 22:26
  • Melayani kebutuhan yang sesungguhnya, bukan keinginan – Roma 12:13
  • Lebih kepada membangun daripada meruntuhkan
  • Memfasilitasi pertumbuhan rohani dan melayani orang lain – Efesus 4:12-16
  • Menginspirasi dan bukannya mengarahkan – Yohanes 13:15; I Kor 11:1; I Pet 2:21
  • Para pengikut menyamai sikap dan perilaku pelayanan pemimpin – Yoh 13:15
  • Para pengikut menjadi lebih kuat, lebih bijak, lebih bermoral, dan lebih mampu – Efesus 4:12-16
  • Para pengikut tidak lagi di bawah perintah tetapi memiliki otonomi di bawah Allah – Matius 20:25-26
  • Menderita dan Berkorban untuk orang lain
  • Karisma tumbuh dari kasih yang dimanifestasikan dalam pelayanan dan hormat terhadap mereka yang memimpin – Matius 20:28; Efesus 5:1
  • Memperhatikan orang lain lebih dari diri sendiri – Filipi 2;4
  • Menyamai kepemimpinan yang melayani dari Yesus – Marius 20:28
  • Hubungan yang saling memperhatikan
  • Mengasihi mereka yang dilayani – Efesus 4:15-16
  • Membagi hidup, terbuka, saling mendukung – Efesus 5:19-21
  • Mendengarkan, memahami, berempati, bekerjasama – Yakobus 1:19.

Wofford selanjutnya menulis bahwa pelayanan yang dikerjakan oleh pemimpin yang melayani adalah: melayani Allah dan melayani sesama manusia.[21] Dan ciri dari pemimpin yang melayani adalah pengorbanan diri, berbelas kasih, memiliki kesediaan, memberi diri, dan ketekunan.[22]

Model dari pelayanan kehambaan adalah Yesus sendiri. Leighton Ford menyebutkan bahwa Yesus itu bukan cuma Tuhan tetapi Ia sendiri adalah contoh bagi kepemimpinan. Ia bukan hanya mengajarkan kepemimpinan tetapi juga menunjukkan caranya.[23]

5. Simplisitas Hamba
Simplisitas Hamba jauh dari otoritas gembala mengingat peran dan posisinya yang di bawah. Robert Borrong menyebutkan beberapa ciri yang menujukkan simplisitas hamba:

1. Rendah hati
2. Suka mendengar (dengar-dengaran)
3. Responsif atau taat
4. Berani dan penurut
5. Rela berkorban
6. Jujur
7. Kesetiaan dan tanggung jawab
8. Tidak ambisius
9. Murah hati (tidak materialistis dan tidak rakus)[24]

Kepribadian seorang pemimpin sangat menentukan pelaksanaan tugasnya karena kepribadian itu yang selalu mendapat perhatian bawahan baik diikuti maupun diteladani. Maka berbicara tentang karakter kepemimpinan yang bersahaja berbicara tentang pribadi para pemimpin.

Kepemimpinan Kristiani juga sangat menekankan kepribadian sang pemimpin, terutama kehidupan rohaninya. Maka karakter seorang pemimpin Kristen terkait dengan kehidupan rohaninya sebagai pemimpin, yakni memiliki sikap seorang gembala yakni sederhana, penuh perhatian, mengayomi dan selalu siap berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya.[25]

Kepemimpinan Gereja selama ini terlalu mengandalkan pengetahuan dan keterampilan manajerial. Situasi ini harus dirubah. Para pemimpin harus lebih banyak mengandalkan kepribadiannya dan karena itu para pemimpin harus melatih diri untuk menjadi pemimpin yang ideal yang tidak mengandalkan pengetahuan dan keterampilan saja tetapi yang mengandalkan kemurahan dan kebaikan Tuhan di dalam hati, pikiran, dan karyanya.[26]


[1] Thomas H. Groome, Christian Religious Education (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1980), xvii.
[2] A. J. Lindgreen, s.v. “Leadership and Administration” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 634.
[3] H. Siagian. Manajemen: Suatu Pengantar (Bandung: Alumni, 1977), 27.
[4] Ibid.
[5] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan: Perspektif Alkitab” dalam Kepemimpinan Kristiani: Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (Jakarta: STTJ, 2001), 1.
[6] Ibid., 6.
[7] Ibid., 635. Bnd. W. R. Lassey (peny). Leadership and Social Change (1971), 17-25
[8] Ibid.
[9] Sugiyanto Wiryoputro, Dasar-dasar Manajemen Kristiani (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 17.
[10] Ibid.
[11] Benyamin Abednego. Liku-liku Kepemimpinan Kristen (Surabaya: Yakin, tt), 8.
[12] William D. Lawrence, “Distinctives of Chrisitian Leadership” dalam Roy B. Zuck (peny). dalam Vital Ministry Issues (Michigan, Grand Rapids: Kregel Resources, 1994, 34.
[13] Ibid., 35.
[14] Ibid. 35.
[15] R. J. Arnott, s.v. “Authority, Concept, and Theory of” dalam Rodney J. Hunter (peny). Dictionary of Pastoral Care and Counseling (Nashville: Abingdon Press, 1990), 59.
[16] Ibid., 36.
[17] Ibid. 43.
[18] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen yang Mengubahkan (Yogyakarta: Yayasan Andi), 24.
[19] Ibid.
[20] Ibid., 180-81.
[21] Ibid., 186-189.
[22] Ibid, 190.
[23] Leighton Ford, Transforming Leadership (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1991), 11.
[24] Robert Borrong, “Etika dan Karakter Kepemimpinan dalam Perspektif Kristiani” dalam Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: STTJ, 2001), 73-81.
[25] Ibid.
[26] Crayg R. Dikstra, Vision and Character (New York: Paulist, 1981), 50.


Daniel Zacharias
education from womb to tomb

12 November 2008

Saat Aku Berada Dalam Situasi Yang Buruk

Mazmur 27

Dulu ada lagu yang liriknya begini:

“Tak pernah Dia janji hari s’lalu ‘kan panas,
dan tak pernah Dia janji hari ‘kan s'lalu hujan,
tetapi Dia janjikan memberi kekuatan,
bila badai ganas melandamu”

Pesawat udara yang tiba-tiba memasuki cuaca buruk, maka pilotnya memiliki suatu standar operasional yang harus dijalankan yang dikenal dengan istilah 5-C.

1. Cool down - bersikap tenang
Seorang pilot tidak boleh panik, secara psikologis, ketenangannya merupakan ketenangan seluruh isi pesawat sekalipun para penumpang sudah begitu panik, sebaliknya kepanikannya adalah kepanikan seluruh isi pesawat. Akibatnya usaha untuk berjuang telah hilang ditelan ketakutan yang begitu besar.

2. Check the instrument - memeriksa peralatan
Ketenangan pilot tersebut memungkinkan ia dapat memeriksa semua peralatan pesawat dengan baik, misalnya: apakah radio bekerja dengan baik, apakah baling-baling di sayap berputar dengan baik, apakah seluruh mesin tidak ada yang ‘ngadat’?

3. Contact the tower - Kontak menara pengawas
Setelah dia tenang dan seluruh peralatannya diperiksa memungkinkan ia dapat mengontak petugas di menara pengawas untuk meminta tuntunannya.

4. Communicate & cooperate - komunikasi & bekerja sama
Pada saat komunikasi dengan menara pengawas maka hal itu tidak terjadi bukan kontak sekali dua kali, tetapi terus-menerus. Dan pilot harus mengikuti petunjuk menara pengawas, dia harus bekerja sama dengan petugas di menara.

5. Climbing up - tetap terbang
Pilot harus tetap menjaga pesawatnya tetap terbang dengan keyakinan ia bisa mendaratkan dengan baik, dan tidak terburu-buru atau panik serta putus asa, sehingga ia mendaratkan pesawat di mana saja dengan alasan cuaca yang sangat buruk.

Bagaimana dengan kehidupan orang percaya bila ia memasuki situasi kehidupan yang buruk?

Orang yang memiliki relasi yang baik dengan Allah tidak berarti ia terbebas secara otomatis dari semua problem yang menggelisahkan dan menakutkan dirinya.

1. Cool down - bersikap tenang
Owen Feltham mengatakan bahwa mempercayai Tuhan pada saat kita merasa aman dan pasti adalah hal yang mudah. Tetapi dapatkah kita mempercayai-Nya pada saat jalan yang terbentang di depan kita terlihat begitu suram dan penuh ketidakpastian?

Maz 27:1
Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?

Ketakutan adalah sesuatu yang sangat manusiawi tetapi ketakutan yang berkepanjangan dan tidak berpengharapan adalah sesuatu yang sangat tidak disukai Allah.

Alkitab mencatat ada beberapa orang yang pernah merasa takut:

Elia ketika diancam Izebel (I Raja-raja 19:1-4)
1 Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang,
2 maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu."
3 Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana.
4 Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."

Murid-murid ketika ada di atas perahu yang dilanda badai (Mark 4:36-40)
36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. 40 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"

Yesus sendiri ketika berdoa di taman Getsemani (Luk 22:44)
44 Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.

Kepanikan hanya mengerjakan ketelodoran dan kecerobohan. Memang benar apa kata pepatah:
"the most useless thing to do ... worry!". Jangan biarkan diri anda melaju dengan kecepatan tinggi namun anda tidak sadar bahwa anda sedang kesasar. Ingat, Tuhan sangat memperhatikan anda. Ia dapat memberikan kepastian dan rasa aman kepada anda, asal anda mau mempercayai-Nya.

Pemazmur menegaskan kepada siapa aku harus takut dan gemetar, atau dengan kata lain: bila Allah ada mengapa saya harus takut? Faktanya Allah ada tetap ada dan ketakutan yang besar itu juga masih tetap ada!

2. Check the instrument - memeriksa peralatan

Maz 27:2
Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

Kenapa hati yang merupakan instrumen yang perlu diperiksa?

Amsal 3:23
Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.

Pertanyaan yang patut diajukan bagi diri kita sendiri adalah:
Mengapa aku begitu resah?
Mengapa aku merasa hampa?
Mengapa aku merasa kesepian seolah cuma aku yang mengalami hal berat ini?
Kemana aku bisa memperoleh kelegaan?

Introspeksi terhadap diri sendiri (baca: hati) adalah introspeksi terhadap inti kehidupan (bnd. Mat 5:18-19).

Mat 5:18-19
18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.
19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

3. Contact the tower - Kontak menara pengawas

Maz 27:7
Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku!

Komunikasi yang tak terputus dengan Allah tidak saja memberi ketenangan batin tetapi juga memberikan kepastian arah dan tindakan dalam pengambilan keputusan.

Yeremia 33:3
3 Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.

3. Communicate & cooperate - komunikasi & bekerja sama
Maz 27:8
Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.

Maz 27:11
Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku.

Berdoa adalah jalan komunikasi dengan Allah (iman) tetapi mengikuti petunjuk Allah adalah tindakan iman (perbuatan).

Bekerjasama dengan Allah menyelesaikan persoalan tampak dalam Roma 8:26-28:
26 Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.
27 Dan Allah yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu, yaitu bahwa Ia, sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus.
28 Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Kata 'membantu' (Yun. synantilambanetai, "mengangkat bersama-sama", seorang memegang ujung lain dari benda yang berat untuk membantu mengangkatnya.

4. Climbing up - tetap terbang

Maz 27:1 4
14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Pengharapanlah yang membuat orang bertahan (bnd. Ibrani 11:1).
Ibrani 11:1
1 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Roma 8:24-25
24 Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? 25 Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan

Daniel Zacharias
education from womb to tomb
gambar diunggah dari:

10 November 2008

Tulisan Di Dinding London School - Bagian Satu

Tahun 2006 adalah tahun dimana saya mulai mengajar Religious Instruction di London School of Public Relation (LSPR), yang waktu itu kampus C-nya terletak di sebelah gedung Bimantara di Jl. Kebon Sirih Jakarta Pusat. Ruang dosen tempat para dosen menghabiskan jeda waktu 30 menitnya itu memang tidaklah besar di banding ruang dosen yang sekarang di Sudirman Park. Namun yang menarik bukanlah soal ruang dosennya namun pada tulisan yang tertempel di dindingnya. Ada 3 tulisan di dinding terbingkai dengan baik yang membuat saya senantiasa terinpirasi. Salah satunya yang ingin saya ketengahkan adalah berada di ruang dosen kampus C yang beberapa hari lalu saya lihat juga terpampang di ruang dosen kampus B yang berada dalam satu kompleks yang sama. Kami para dosen berulang kali membahas atau menyinggung tulisan di dinding itu secara positif dan rasanya dari berbagai keyakinan merasa tulisan itu bagai sebuah irisan di antara satu iman dengan iman lainnya.

Tulisan tersebut berjudul:

ONE DAY AT A TIME
The most useless thing to do … Worry
The greatest joy …Giving
The greatest loss … Loss of self-respect
The most satisfying work … Helping others
The ugliest personality trait … Selfishness
The most endangered species … Dedicated leaders
The greatest “shot in the arm” … Encouragement
The greatest problem to overcome … Fear
Most effective sleeping pill … Peace of mind
The most crippling failure disease … Excuses
The most powerful force in life … Love
The most dangerous pariah ... A gossiper
The world’s most incredible computer … The brain!
The worst thing to be without … Hope
The deadliest weapon … The tongue
The two most power-filled words ... “I can”
The greatest asset … Faith
The most worthless emotion … Self pity
The most prized possession … Integrity
The most beautiful attire … A SMILE!
The most powerful channel of communication … Prayer
The most contagious spirit … Enthusiasm
The most important thing in life … GOD

Ingin rasanya menguraikan satu persatu ... coba saja kalau bisa ...

Daniel Zacharias
education from womb to tomb